Bersama Satria Adipati Syahputra saat kelas tiga SMA.
Perjalanan pulang tidak terasa mulus bagi Satria. Di mobil yang dikemudikan Ayahnya, Satria masih tidak bisa berpikir jernih.
"Kepikiran sama temen kamu itu ya, Ri?" Sang Ayah tersenyum, matanya masih fokus pada jalan raya yang tengah sibuk di pukul setengah sebelas malam. Satria hanya menoleh pada sang Ayah yang duduk di bangku kemudi, kemudian mengangguk, "Ayah sadar ya?" Tanya Satria yang dijawab dengan tawa pelan dari sang Ayah, "Kamu anak Papa, mana mungkin Papa ga sadar sama gelagat kamu kalau lagi ada pikiran?" Jawab sang Ayah yang berhasil membuat Satria tersenyum. Satu lagi hal yang harus ia syukuri hari ini adalah sang Ayah masih begitu mencintainya dan menaruh kasih yang besar padanya.
"Papa akan tetap nikahin Tante Gea, ya nak. Ga apa, 'kan?" sang Ayah bertanya lembut pada anaknya, Satria. Yang ditanya hanya mengangguk, "Papa udah gedein Satria sendirian sampai saat ini. Tanpa Mama juga," Satria menatap Ayahnya dengan perasaan yang bercampur aduk, "Papa pantas bahagia kok. Papa udah terlalu banyak ngasih buat Satria."
Lampu merah sangat mendukung Ayah dan anak ini untuk berbicara lebih lama. Sang Ayah tersenyum, "Tadi Papa denger sedikit obrolan kamu dengan Nak Abim, Ri," Ayah Satria membuka suara, "Percayalah, Tante Gea dan Papa akan selalu prioritasin kalian di atas kebahagiaan kami. Tapi bukan berarti kalian adalah penghalang kebahagiaan kami kalau kalian engga setuju."
Satria hanya mengangguk, mengerti maksud dari sang Ayah.
"Abim belum tahu ini, Ri. Tapi Papa rasa kamu perlu tahu. Tante Gea menceraikan Papa Abim karena Papa Abim itu suka mukukin Tante Gea saat Abim engga di rumah," Sang Ayah mulai bercerita membuat Satria terbelalak kaget di bangku penumpang. Pasalnya saat Abim tidak di rumah berarti saat Abim ada bersama dengan dirinya, dengan Chareteen, dengan Satria.
"Papa tahu kamu mau nyalahin diri sendiri karena Abim diluar berarti Abim lagi sama kamu, menurut Papa sama sekali engga. Karena seorang laki-laki pada dasarnya tidak punya hak untuk memukul wanita mana pun apalagi istrinya." Ucap sang Ayah seolah bisa membaca pikiran putra tunggalnya.
"Selama Tante Gea ada dalam pengawasan Papa sebagai sekertaris pribadi Papa, Tante Gea itu kerjanya cekatan, sopan, dan penyayang sama semua orang. Papa engga habis pikir kenapa orang kayak Tante Gea bisa disakiti sedemikian rupa sama sang suami dulu. Tante Gea juga bertahan lama karena tahu Abim masih sayang sama Papanya walau kelihatan engga peduli."
Satria terdiam. Jelas saja. Tak pernah ada kata mantan anak atau mantan orang tua dalam sebuah hubungan.
"Tante Gea akhirnya mutusin cerai kenapa, Pa?" Tanya Satria pada sang Ayah.
Sang Ayah hanya tersenyum, "Tante Gea takut Abim benci sama Papanya sendiri kalau Abim tahu kelakuan Papanya saat engga di rumah. Makanya Tante Gea pilih cerai dan hak asuk Abim jatuh ke tangan Tante Gea. Toh Papanya juga engga peduli sama Abim katanya," jawab sang Ayah, "Walau begitu, Tante Gea tetap ga mau Abim benci Papanya."
Satria mengerti kenapa sang Ayah menetapkan hati pada Tante Gea, Ibunda dari Abim, sahabatnya sendiri. Sisi peduli Abim memang menurun dari sang Ibu. Tante Gea adalah malaikat. Hanya satu yang ada di pikiran Satria; Ayah Abim teramat sangat dicintai oleh Tante Gea. Seburuk apapun Ayah Abim sebagai mantan suami Tante Gea, Tante Gea tidak pernah mau Ayah Abim menjadi Ayah yang buruk di mata Abim.
"Terus Papa ga masalah sama Abim yang bisa aja ga setuju sama ini semua, Pa?" Satria mempertanyakan kekhawatiran terbesarnya. Sang Ayah hanya terdiam, "Kalau itu, semua keputusan Tante Gea. Kalau Gea mau menyambut dengan tangan terbuka, Papa akan dengan senang hati jadi Papa untuk Abim. Kalau Gea memilih Abim, Papa juga akan tetap setuju. Karena sama seperti Papa, kamu dan Abim sama-sama berarti buat kami."
"Tapi Papa udah persiapin resepsi katanya?" Satria bertanya lagi. Sang Ayah hanya tertawa ringan, "Sejumlah uang itu engga ada artinya sama kalian. Kalau dapat restu, dua minggu lagi kami akan laksanakan. Kalau tidak, kami bisa batalkan. Semua hal akan sesederhana itu kalau itu menyangkut kamu dan Abim, Ri." Jawab sang Ayah dengan santai.
Satria semakin tenggelam dalam pikirannya. Sang Ayah tidak suka hal bergerak secara lambat, karena itu dia bisa mengerti kenapa preparasi pernikahan mereka bisa secepat itu. Tapi fakta bahwa restu dari anaknya memiliki dampak seperti ini membuat Satria merasa tidak enak karena ia juga tidak memiliki kekuatan apapun untuk membujuk Abim.
Karena sepertinya, Abim lebih menyukai sebagai teman yang seperti kakak dibandingkan dirinya sebagai kakak yang seperti teman.
Ting!
Dering ponsel Satria mengalihkan fokus Satria dari obrolannya dengan sang Ayah dan pikirannya. Namun nama Giovin Abimanyu yang terpampang membuat jantung Satria berdebar lebih cepat dari biasanya.
Ia takut bahwa pesan yang dikirimkan Abim adalah jawaban yang tidak ia inginkan untuk kebahagiaan sang Ayah maupun Tante Gea. Tapi di satu sisi, ia berharap bahwa pesan Abim berisi lampu hijau yang mengizinkan keduanya untuk memulsi kehidupan yang baru bersama.
Satria menekan tombol notifikasi pada ponsel, sedetik setelahnya, pesan itu berhasil membuat ekspresi pemuda itu merekah.
Giovin Abimanyu :
ㄴ Bilang sama bokap lo, gue setuju selama dia bahagian nyokap gue."Pa, Abim baru bilang kalau dia setuju sama rencana pernikahannya...." Satria masih terlalu terkejut. Namun juga bahagia dengan respon kawannya.
"Oh ya? Syukurlah, nak," Sang Ayah tersenyum, tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya, "Bilang Nak Abim, Papa bilang makasih dan Papa akan sering main untuk ngobrol. Kasih tahu rencana pernikahan juga ya, nak." Jawab sang Ayah yang tengah berseri.
Di tengah musim semi yang tengah melanda dua keluarga. Hanya satu harapan agar mentari terik tidak menyinari pohon yang tengah kering hingga mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHARETEEN
FanfictionChareteen adalah sekelompok pemuda paling bahagia di Bandung. Tapi, itu adalah kisah lima tahun yang lalu. Lalu, bagaimana jika sekarang? CHARETEEN : (n) ketika SEVENTEEN melokal dan menjadi tiga belas pemuda yang pernah merajai SMAN 2 Bandung.