tw // harsh words, kata kasar, light mention of nsfw
"Oh? Antek-antek nya Bang Satria lagi?" Abim bertanya sarkas. Wajah merah dan bau alkohol yang menyengat. Chiko dan Chandra hanya menarik tangan yang lebih muda untuk dibawa ke ruang istirahat. Setidaknya di mana pun asal bukan di tempatnya sekarang. Abim menepis tangan kedua orang itu, "Ga usah. Gue bisa." Abim berucap ketus lalu mencoba berdiri.
Hasilnya? Tentu saja terhuyung. Refleks Chiko menahan tubuh besar Abim dengan tubuhnya. Chandra mendekat untuk membantu Chiko membopong sobat lama dari rekan kerjanya itu. "Gue bisa-" "Iya lo bisa. Bisa mampus. Persetan lo bilang gue antek-antek Satria atau apapun, tapi biarin gue ngurus elo dulu. Jangan rese." Chiko berucap dingin. Yang lebih muda terdiam, memilih untuk menurut. Ah, ini menyebalkan baginya. Bagaimana rasa benci kepada sebagian besar sobat lamanya datang bersama rasa rindu?
Sosok Chiko yang mengurusinya dengan repot seperti ini membawanya pada masa sebelum badai. Sebelum angin ribut datang memisahkan dirinya dengan sobat-sobat tersayangnya.
Chiko dan Chandra membopongnya ke tempat di mana mereka berada sebelum membawa Abim. Membiarkan Abim untuk duduk dan Chiko yang meletakkan segelas air di meja di depan Abim. "Gue tahu lo ga mau lihat gue. Istirahat sini dulu, gue lanjut kerja. Jangan sampe dibungkus preman lo." Chiko berucap tanpa menoleh, lalu pergi melanjutkan pekerjaannya setelah memainkan ponselnya beberapa saat.
Chandra dan Abim dibiarkannya untuk diam di ruangan sunyi itu. Abim hanya meneguk segelas air itu dengan cepat dan melemparkan kepalanya ke sandaran sofa. Chiko dan Abim tak perlu bicara. Chandra tahu ini adalah anak yang sering dibicarakan Chiko. Memang penampakannya tidak berubah sejak SMA. Teman lama Chiko yang selalu membuat Chiko menghela napas.
"Lo temen Chiko?" Abim membuka suara. Dirinya mencoba menekan efek alkohol yang kuat dalam tubuhnya. Chandra hanya terdiam sebentar sebelum menjawab, "Iya."
Abim menatap Chandra dengan lekat. Teman Chiko selain CHARETEEN bisa di hitung dengan satu tangan. Chiko tidak mudah bergaul dan terlihat dingin jika dilihat sekali pandang.
Mirip.
Chandra memiliki impresi yang mirip dengan Chiko. Mungkin karena itu keduanya dekat. Karena kemiripan mereka? Abim menepis pikirannya. Untuk apa juga dia memikirkan orang-orang yang membela Satria? Ia hanya akan memikirkan orang-orang yang ada di pihaknya.
"Lo engga tahu ya selama ini Chiko ga mihak siapapun?" Chandra membuka suara. Tangannya tengah membuka sekaleng minuman bersoda yang mungkin diambilnya saat Abim tenggelam dalam pikirannya sendiri. Abim membuka matanya terbelalak. Apakah orang di sebelahnya ini cenayang? Apa memiliki kemampuan membaca pikiran?
Chandra menoleh menaikkan sebelah alisnya, "Oh? Jackpot?" Chandra bertanya —atau lebih cocok disebut menggoda— pada Abim. Abim hanya membuang mukanya. Ia heran, bagaimana orang yang baru dikenalnya dalam keadaan mabuk bisa membaca pikirannya. Ugh, apa kali ini dia membagikan pikirannya lagi? Menjadi terlalu jujur lagi? Ia baru minum beberapa gelas —yang sudah bertumpuk menjadi beberapa botol— minuman. Tapi apa dia sudah semabuk itu? Entah. Abim juga tidak yakin. Rasanya sadar tapi tidak sadar juga.
"Tapi kalau dilihat-lihat, lo udah engga semabok tadi? Waktu gue nyepuin lo ke Chiko kayaknya lo masing nge-anjing-anjingin itu Om-om?" Chandra terkekeh. Abim hanya terdiam. Sosok Chandra sama sekali tak bisa ditembus pemahamannya.
"Ya persetan sama tuh makhluk. Sianjing kaga inget sama anak bini di rumah, dikata dia siapa? Kaya doang, sok-sokan mau bungkus gue. Pengen gue trobos tuh orang?" Mingyu mengoceh. Kata kasar yang yang jarang digunakannya sudah muncul. Mungkin ini salah satu indikasi bahwa Abim sudah diantara kesadaran dan ketidak sadaran. Chandra mengangguk, tidak menoleh pada Abim, "Ngetrigger elo, apa? Sensi atau empati nih?" Chandra hanya memainkan kaleng minuman miliknya setelah berhasil membuat Abim bungkam dengan pertanyaannya.
Chandra benar. Abim sendiri bingung apa yang membuatnya begitu marah? Apa karena ia berempati oleh istri dan anak dari bajingan tua yang ditemuinya atau karena ada sesuatu yang memicunya marah? Sebuah trigger yang mungkin tak mau diakui oleh dirinya.
Keheningan merajai, Chandra tidak memilih untuk memanjakan lawan bicaranya untuk mencarikan suasana terlebih dahulu, dan Abim ... masih sibuk tenggelam dalam pikirannya. Hanya suara jam dinding dan suara ramai yang samar berasal dari luar.
"Chiko! Di–" Suara tinggi mengikuti suara pantry yang pintunya dibuka keras. Sosok tinggi namun tidak setinggi Abim, rambut dan mata hitam legam, kulit pucat dengan peluh mengalir, serta bibir merah yang dikenali oleh Abim.
"Oh.... Hai?" Suara itu menyapa duluan, suaranya menciut. Namun suara napas yang terengah-engah tidak dapat disembunyikan. Abim hanya menatap datar sosok yang ada di depan pintu itu.
"Ngapain di sini?" Abim bertanya dingin. Ia tidak ingin orang dekatnya tahu. Atau lebih tepatnya mantan orang dekatnya? Cukup Chiko saja. Bahkan ia sudah memastikan bahwa Dino juga tak akan diberi tahu olehnya.
"Chiko ... ngabarin. Gue dateng jemput elo." Sosok itu hanya mengusap tengkuknya canggung. "Balik sana." Abim menjawab dalam sepersekian detik. Ia tidak ragu, dari semua orang, dialah orang yang paling dihindarinya.
"Gue tahu lo ga mau ketemu gue. Gue kira lo pingsan makanya gue kesini supaya gue bisa langsung drop elo ke rumah dan pergi supaya lo ga perlu lihat muka gue," lawan bicara Abim menjelaskan, panik terdengar jelas dari suaranya, "tapi ternyata lo udah bangun. Bunda bilang motor lo di rumah, Dino juga bilang lo pergi ga bawa mobil. Sama gue aja, gue—" "Gue bilang balik, ya balik." Abim memotong dingin.
Lawan bicaranya membeku. Chandra yang berada di antara mereka memilih tidak bersuara. Kali ini, sudah ada garis penghalang tak terlihat yang sudah memperingatinya untuk tidak ikut campur. Memanggil Chiko juga nampaknya bukan pilihan tepat?
"Bim, udah pag—" "Gue bilang balik. Gue engga butuh elo, Satria. Lo bukan siapa-siapa gue." Abim meninggikan suaranya sedikit.
Rasanya ada panah baru dilempar ke hati Satria. Sosok yang lebih muda yang dirindukannya ternyata sudah menolaknya seperti ini. Satria hanya menghela napas, lalu menurut, "Ya udah, Abang panggilin taksi ya. Chiko ngga ada mobil." Jawab Satria sebelum meninggalkan keduanya. "Abang ga akan ke sana. Tenang aja, Abang masih di kost. Jangan bikin Bunda dan Dino khawatir, duluan ya."
Abim hanya diam. Entah ekspresi apa yang harus dipasangnya. Hari ini rasanya tidak ada stress yang dilepasnya dengan meneguk minuman keras.
——
Author's note :
Niatannya mau special update karena minggu lalu Carat Day, Jun solo debut, dan Chan birthday. Tapi chapternya malah sesi cuss words.... [lalu sungkem]

KAMU SEDANG MEMBACA
CHARETEEN
FanfictionChareteen adalah sekelompok pemuda paling bahagia di Bandung. Tapi, itu adalah kisah lima tahun yang lalu. Lalu, bagaimana jika sekarang? CHARETEEN : (n) ketika SEVENTEEN melokal dan menjadi tiga belas pemuda yang pernah merajai SMAN 2 Bandung.