Chapter 2

1.7K 285 2
                                    

Sudah dua hari Nuno memijakkan kakinya kembali ke kota kembang Bandung. Tempat yang dikunjunginya hanya dua. Kantor dan kafe milik keluarga Jovian. Bukan Nuno tidak sibuk dengan pekerjaan. Bahkan saat ia datang ke kafe milik keluarga Jovian, ia selalu ditemani laptop dan berkas-berkas kerja miliknya. Jovian sampai geleng-geleng kepala.

"Nih, kopi lagi." Jovian berucap meletakkan segelas kopi, pesanan biasa Nuno. Diikuti dengan helaan nafas yang membalas senyuman dari Nuno. Nuno masih bergelut dengan gawai dihadapannya bersama beberapa lembar kertas yang dibolak-balik. "No, lo ngapain sih kerja disini sampai tengah malem baru pulang?" Jovian bertanya, tak menyembunyikan gurat heran dari wajahnya. Nuno hanya tersenyum, "Ga apa, Bang. Gue ga punya temen lain juga buat diajak ngobrol selain lu pada." Jawab Nuno jujur. Nuno tidak bisa dibilang bersahabat, namun tak bisa juga dibilang anti sosial. Mungkin, hanya natural orang yang sulit bergaul.

Tak ada yang melanjutkan percakapan lagi, membiarkan ketenangan untuk merajai suasana diantara mereka. Tidak ada rasa canggung, hanya ketenangan yang nyaman. "Gue ketemu Devan, No." Ucap Jovian sembari memperhatikan ponsel pintarnya. Wajah cantiknya menyunggingkan senyuman tapi dia tak menoleh pada Nuno yang sudah terbelalak dengan wajah bahagia disebelahnya. "Lo beneran, Bang? Ngga bohong 'kan lo sama gue?" Wajah Nuno penuh harap. Jovian terkekeh pelan, mendorong sedikit tubuh Nuno yang sudah terlalu dekat karena antusiasme. "Ngapain gue bohong sama lo, No?" Tanya Jovian menertawakan keraguan dari Nuno, " Devan tuh masih di lingkaran gue gini-gini. Ga ngontak elo kan sejak lulus?" Tanya Jovian mengkonfirmasi hal tersebut membuat yang lebih muda hanya mengangguk sebagai jawaban darinya. "No, kalian langsung pisah sejak kita lulus lima tahun lalu. Lo inget 'kan waktu lo ternyata kuliah ke Jakarta?" Tanya Jovian santai menyeruput kopi hangat dari cangkir milik Nuno. Nuno hanya mengangguk lagi sebagai jawaban. Jovian tersenyum, "Menjaga hubungan ga segampang itu No. Apa lagi kalau ujiannya udah jarak. Lo dan Devan akan berakhir dengan punya teman dan lingkungan baru toh?" Jovian menjelaskan. Bukan membela Devan. Tapi Jovian mengerti. Usia perkuliahan adalah usia yang sibuk, bagaimana mahasiswa-mahasiswi akan disibukkan dengan tugas, pelajaran, ujian, hingga urusan organisasi mahasiswa. Apalagi, tempat Nuno menuntut ilmu adalah Ibukota yang penuh dengan pesaing.

"Tapi, Bang. Gue ga pernah mikir kalau kita bakalan pisah hanya karena gue kuliah di Jakarta...." Nuno menghela nafasnya berat. "Natural, No. Kita bakal pisah tapi bisa juga bareng kayak sekarang. Ga semua dari kita masih kontak satu sama lain juga," Jovian menenangkan, "Devan juga kayaknya takut kalau lo udah nemuin kawan seumuran yang lebih asik di Ibukota. Eh, elo malah balik." Canda Jovian yang cukup berhasil untuk mengembalikan senyum Nuno untuk terukir kembali di wajahnya.

Dering bunyi telepon masuk mengalihkan fokus Jovian dari orang disebelahnya. Layar bertuliskan nama 'Devan' muncul diponselnya menandakan telepon berasal dari Devan. Jovian hanya tersenyum lalu menggeser tanda terima panggilan tersebut.

"Halo, kenapa?" Jovian bertanya langsung mengawali obrolan. "Lo masih buka 'kan, Bang? Gue mau kesana nih." Ucap Devan dengan sedikit gangguan suara angin. Kedengarannya, Devan sedang berada diluar. Jovian hanya tertawa pelan, "Ha'ah, masih buka. Sini aja kalau mau, ada Nuno nih." Jawab Jovian santai membuat Nuno menoleh karena namanya disebut.

"Siapa?"

"Devan." Nuno terdiam.

"Van, mau ngomong sama Nuno ga?" Jovian bertanya membuat orang diseberang telepon membeku begitu juga dengan orang disebelahnya. "Dih, diem. No, mau ngomong ngga nih?" Tawar Jovian pada Nuno sambil menyerahkan ponselnya. Nuno agak ragu, tapi memilih untuk mengambil ponsel tersebut. Kata orang, kesempatan tidak datang dua kali.

"Dev?" Panggil Nuno canggung, "Oh, elo udah balik, No?" Devan bertanya. Nuno hanya menggumam pelan, membenarkan pertanyaan tersebut. Keheningan berlanjut beberapa saat sampai suara yang memanggil Devan dari ujung telepon terdengar untuk mengajaknya melanjutkan tujuan. Devan hanya berdehem pelan, "Ya udah, gue kesana. Duluan ya, No." Devan pamit dan langsung mematikan ponselnya. Nuno terdiam dengan ponsel Jovian yang ada ditangannya.

"Bang." Nuno memanggil. "Apaan?" Jovian hanya melirik yang lebih muda dari ekor matanya. Senyum Nuno terukir, "Kita pasti bakal ngumpul lagi, Bang." Nuno menoleh, "Kenapa lo ga ngomong kalau lo ketemu sama Devan, Bang?" Nuno bertanya heran. Walau begitu terheran, wajahnya tidak menyembunyikan senyum bahagia bertemu teman sebayanya tersebut. Jovian hanya mengangkat bahunya santai, "Ya ngga kenapa-napa sih. Tapi, kalau gue kasih tahu elo, Chiko, sama si Satria ya kagak seru." Jawab Jovian santai. Ini pukul setengah sembilan malam. Tapi bagi Nuno, berlarut sebentar tidak masalah jika ini untuk kawan-kawan lamanya.

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang