Malam semakin larut membawa anak-anak yang berkumpul di tempat milik keluarga Johan untuk pulang ke tempat mereka masing-masing. Satu persatu dari mereka berpamitan pulang apalagi mengingat bahwa besok beberapa di antara mereka ada yang haru menghadiri kelas pagi. Masih ada Hugo, Johan, Devan, Satya, dan Satria di sana dengan Vernon yang sudah di motor miliknya, menunggu Satya untuk mengantarnya pulang. Satya yang sedang membayar tagihannya. Walau sering diberikan gratis oleh yang lebih tua, Satya makan cukup banyak malam ini. Kalau Johan terus menerus mentraktir Satya, bisa-bisa cafenya bangkrut 'kan? Toh, hari ini semuanya membayar dengan isi dompet masing-masing. Jika tidak, cafe milik keluarga Johan bisa defisit.
Satya melambaikan tangannya lalu menguap dan menuju motor milik Vernon setelah dari kasir. Yang masih tersisa hanya sedikit membantu bersih-bersih. Atau lebih tepatnya Devan dan Johan saja. Karena Satria dan Hugo sudah selesai membersihkan meja yang dihuni oleh mereka tadi. Hugo dan Satria terdiam dalam keheningan yang mengudara di antara mereka. Atau mungkin, lebih tepatnya, keheningan yang hanya dirasakan oleh Satria dan tidak oleh Hugo? Kira-kira begitulah pikir Satria. Satria sedikit bingung apa yang harus dibicarakan dengan Hugo yang asik bicara dengan pelayan di cafe keluarga Johan. Satria juga ingin bicara dengan Hugo, namun sepertinya, mereka sedang asyik berbincang entah tentang apa. Satria memilih untuk memainkan ponselnya. Lebih baik daripada terlihat canggung tanpa teman bicara toh?
Suara perbincangan Hugo dan bawahan dari Johan tidak terdengar lagi setelah beberapa saat. Satria mencuri pandang melalui ekor matanya, mengalihkan pengelihatan dan perhatiannya dari ponsel yang menunjukan lini masa dari aplikasi Twitter.
"Napa bang curi-curi pandang? Naksir sama gue efek kangen?" Satria menangkap Hugo yang sudah menyunggingkan senyum miring dan melipat tangannya di depan dada. Satria menggeleng dan menyentil kening Hugo, "Ketemu elo bukan makin bener makin ngaco doang yang ada." Respon Satria diikuti dengan decak heran. Hugo hanya menggumam kesal mengelus keningnya, "Daripada abang? Abis ditelpon Abim langsung diem." Ujar Hugo berhasil membuat Satria terdiam. Bukannya Hugo tidak mengerti kondisi keduanya, tapi rasanya tak baik juga membiarkan semuanya berjalan di tempat.
"Belum baikan, bang?" Tanya Hugo yang ditanggapi dengan gelengan kepala dari Satria. Hugo menghela napasnya lalu duduk mendekat, meletakkan tangannya pada punggung yang lebih tua. "Sekarang belum bisa...," Satria berujar, "Gue rasa bukan Abim yang marah sama gue, tapi gue yang takut kalau Abim dan gue ga akan balik kayak dulu." Satria mencoba menuangkan pikirannya, "Gue yakin setelah tahunan juga, Abim udah tahu ini bukan salah gur ataupun salah dia. Tapi gue engga tahu apa gue sama Abim bakal tetap jadi Satria dan Abim yang sama kayak waktu kita masih SMA dulu." Satria terkekeh sedih.
Hugo hanya bisa menatap yang lebih tua dengan sendu, membiarkan tangannya membawa pundak yang lebih tua kedalam rangkulan yang lebih hangat, membiarkan mereka duduk tanpa jarak memisahkan. Mungkin, kehangatan dalam sunyi adalah jawaban terbaik dari hal-hal yang tidak memiliki jawaban.
"Lo sama Abim engga seharusnya nanggung dosa orang tua kalian, Bang." Hugo berucap tak berani menatap. Di suaranya, ada keraguan. Keraguan pada kemungkinan satu kata salah saja dari dia akan menyakiti yang lebih tua. "Engga seharusnya kita nanggung dosa dari orang-orang itu, kita engga minta darah mereka ngalir di kita kok." Hugo tahu ini terdengar kasar. Tapi dirinya sendiri pun tidak tahu bagaimana membuat kalimat itu menjadi halus.
"Tapi gimana lagi? Kalau udah digarisin jadi penanggung karma gimana? Gue bahkan engga tahu gue harus gimana. Di satu sisi gue ngerasa gue harusnya marah, tapi di sisi yang lain, kalau gue di posisi Abim, gue juga ga akan seneng kalau ada yang ngerebut sesuatu yang sedari dulu udah punya gue. Gue ga bakal rela bagi." Satria menatap layar ponselnya. Di mana Chareteen pada masa itu belum dihadapkan pada kerasnya dunia. Mereka hanya remaja yang menikmati masa terindah dalam hidup mereka. Di sana, dia bisa dengan santai merangkul Abim yang kini sudah hampir memutuskan benang merah di antara mereka.
"Kalau gue boleh minta sama yang ngejaga waktu, Go. Gue pengen balikin waktu ke waktu kita SMA. Terus minta semuanya berhenti. Lima tahun terakhir kesiksa juga. Papa bukan engga khawatir. Papa juga kalau nengok rumah Bunda pasti sedih."
"Abim cuman in denial, Bang. Gue yakin dia juga kangen." Hugo mencoba menghibur. "Yah.... Walau makan waktunya tahunan...." Lanjutnya kembali kepada realita.
"Padahal sekalipun kalau gue marah, gue ga bisa. Malahan, gue bisa nerima realitanya karena itu Abim." Satria tersenyum.
"Noh denger nggak?" Tanya Johan. Devan di sana sudah menyeka air matanya, "Ga ada akhlak, konten bawang banget lo berdua. Baikan sana." Ucap Devan menatap pada layar.
"Hm, besok-besok ya. Gue ngerti maksud kalian nelpon. Udahan ya."
Dan malam itu, malam mengudara tanpa Satria sadari bahwa curahan hatinya tak hanya di dengar oleh Hugo.

KAMU SEDANG MEMBACA
CHARETEEN
FanfictionChareteen adalah sekelompok pemuda paling bahagia di Bandung. Tapi, itu adalah kisah lima tahun yang lalu. Lalu, bagaimana jika sekarang? CHARETEEN : (n) ketika SEVENTEEN melokal dan menjadi tiga belas pemuda yang pernah merajai SMAN 2 Bandung.