tw // divorce
Giovin Abimanyu, kelas dua SMA.
SMAN2 Bandung.Abim, di masa SMA nya. Semua orang berkata bahwa masa SMA adalah masa menyenangkan dan penuh dengan roller coaster perasaan.
Abim juga sama. Di waktu-waktu terakhirnya duduk di bangku kelas satu, ia harus menghadapi fakta bahwa orang tuanya bercerai. Ayah Abim orang yang workaholic, beliau tidak terlalu peduli dengan fakta bahwa beliau memiliki seorang istri dan anak di rumah. Alasan keduanya bercerai? Entah lah. Abim juga tidak yakin bahwa sisi gila kerja Ayahnya adalah satu-satunya alasan perpisahan dari pernikahan yang hampir menginjak dua puluh tahun itu.
Abim menghela nafasnya, ia memilih untuk tidur di halaman belakang sekolah. Tidak ada mood untuk belajar. Pertengahan semester awal, semua berkas telah selesai di urus, dan tentu saja hak asuh atau Abim yang masih belum legal jatuh ke tangan Ibunya. Toh, sang Ayah hanya akan memberikannya segelimang harta dan membiarkannya bertahan sendiri.
Abim mencoba untuk tidur. Pikiran mengenai keluarganya cukup mendominasi pikirannya. Ia hanya berusaha tidak terlihat memikirkan fakta bahwa keluarganya runtuh. Kosong? Tentu saja. Namun kekosongan itu sudah ada sejak lama. Sudah lama sejak sebelum kedua orang tua Abim memilih untuk berpisah. Abim juga selalu memilih untuk jauh dari rumah. Kadang setelah bepergian dengan Chareteen, ia akan membawa motornya sendiri untuk berkeliling kota Bandung.
Hatinya hanya meminta untuk membawa dirinya jauh dari rumah.
Sebuah tepukan ringan membuatnya membuka mata. Satria yang sedang tersenyum dengan sebelah alis yang terangkat, "Nyokap?" Satria bertanya singkat. Tentu saja Satria paham. Mereka tidak menyembunyikan apapun satu sama lain, terutama ketika mereka adalah kekuatan satu sama lain. Kira-kira, begitulah pikir Abim.
Abim hanya mengangguk. Satria menariknya ke dalam rangkulan, menepuk-nepuk pundak anak itu lembut, "Kenapa lagi?" Satria bertanya tanpa menatap lelaki di rangkulannya. "Gue masih bertanya-tanya aja sih, nyokap tuh lembut banget, engga mungkin gugat cerai bokap cuman karena bokap tuh workaholic." Abim membiarkan pikirannya mengalir dalam kata-katanya, "Gue nyesel sih Bang, jarang di rumah. Gue ngerasa ada yang nyokap sembunyiin, gue ngerasa ada alasan lain nyokap sampai gugat cerai bokap gue," Abim menghela nafasnya berat, "Apalagi sejak pas gue balik jam tiga pagi buat lihat nyokap nangis sendirian di kamar mandi lantai satu."
Jika ada hal yang bisa mendominasi pikiran Abim, maka Abim akan secara mudah berkata bahwa itu adalah penyesalan. Penyesalan bahwa dirinya buta akan apa yang terjadi di antara kedua orang tuanya. Masalah yang ia sendiri tidak tahu akarnya berawal dari mana.
"Waktu engga bisa diputer lah Bim, lo mau nyesel bakal ngerubah sesuatu? Engga toh?" Satria bertanya, walau sebenarnya Abim tahu itu adalah sebuah pernyataan. Pernyataan bahwa tidak akan ada yang berubah sekalipun ia sesali jutaan kali. "Kalau elo nyesel, ya belajar. Gue engga punya nyokap sejak kecil, Bim. Jadi gue engga tahu, tapi nyokap lo pasti sayang banget sama elo. Buktinya, walau single parent dia masih mau kerja kantoran demi ngebiayain elo, di saat yang sama jadi sosok Ibu sekaligus Ayah buat elo." Satria tersenyum, mengeratkan tangannya pada pundak Abim, memberikan kepastian dan kekuatan, tangannya yang akan selalu ada menahan punggung Abim.
Abim hanya tersenyum, Satria memang adalah sosok kakak yang tak pernah dimiliki oleh Abim sebelumnya. Kakaknya yang kekanakan tapi selalu ada di baris paling depan untuk melindungi teman-temannya. Yang sering terluka, tapi selalu berbalik dengan senyum di wajahnya.
Seandainya Satria benar-benar kakaknya, ia mungkin akan memiliki hidup yang sangat bahagia. Itu pikirnya. Abim masih memikirkan skenario indah. Kisah indah masa SMA yang penuh dengan lika-liku nampaknya.
"Ya udah lah, mellow mulu. Gue mau ke kantin. Hari ini soto Pak Mamat penjualan terakhir sebelum pulang kampung. Pengen traktir anak-anak nih gue." Satria bangkit, melepas rangkulannya dari Abim dan mengulurkan tangannya, membantu yang lebih muda untuk bangkit dari posisinya.
"Asik, gue dapet jatah 'kan ya, Bang?" Senyum di wajah Abim merekah lebih lebar saat pertanyaannya disahuti dengan anggukan oleh Satria, "Buruan elah. Bangun aja manja." Satria menggeleng melihat wajah Abim yang merekah hanya karena semangkuk soto.
Masa SMA yang penuh dengan kesederhanaan dan tanpa badai. Semuanya terasa terlalu mudah. Tapi apa yang bisa dipikirkan remaja yang tengah menikmati kisahnya? Kalau bisa, mereka akan berdoa agar mereka bisa terus seperti itu hingga akhirnya.
"Bang, makasih udah jadi temen gue ya." Abim mebuka suara di tengah perjalanan singkat mereka, Abim menoleh dan terdiam sesaat sebelum akhirnya mengibaskan tangannya, "Lebay lo. Tapi makasih juga udah jadi adek buat gua, ya, Bim."

KAMU SEDANG MEMBACA
CHARETEEN
Fiksi PenggemarChareteen adalah sekelompok pemuda paling bahagia di Bandung. Tapi, itu adalah kisah lima tahun yang lalu. Lalu, bagaimana jika sekarang? CHARETEEN : (n) ketika SEVENTEEN melokal dan menjadi tiga belas pemuda yang pernah merajai SMAN 2 Bandung.