Chapter 26

523 98 5
                                    

Giovin Abimanyu, di masa kini.

             Hari-hari berjalan seperti biasanya, menyebalkan. Tentunya. Mata yang lelah dengan radiasi laptop dan buku-buku referensi. Apalagi yang dihadapi mahasiswa semester tua selain kedua hal itu dan kesibukan menemui dosen dan teman sesama mahasiswa?

Drama mabuk-mabuk dan meninggalkan rumah tanpa izin beberapa hari lalu membuatnya berusaha untuk tidak terlalu mengacau. Atau bisa dibilang ia berada di fase denial? Dengan fakta bahwa sobat terdekatnya—yang faktanya lebih muda—sudah cukup menaparnya dengan realita dan fakta.

Abim menutup laptopnya sesaat. Hari libur bukan berarti hari istirahat. Namun melepas penat sedikit rasanya tak masalah? Tangannya meraih ponsel, membuka akun sosial media yang sudah hampir tidak pernah dibuka olehnya belakangan ini.

Nuno, sobat lamanya ternyata ada di laman teratas. Kalimat-kalimat letih dengan gambar langit Jakarta yang terik. Jika kalian bertanya apalah Abim memutus hubungan dengan seluruh sobatnya saat SMA sepenuhnya maka jawabannya adalah tidak. Abim memang tidak menyukai bagaimana fakta mereka menuduh—atau lebih tepatnya melempar fakta—pada dirinya untuk Satria. Abim tidak seperti bocah gila. Ia kekanakan? Ya. Tapi ia juga tahu ia tidak punya alasan untuk menunjukan pada semua orang bahwa dia terluka pada teman-temannya bukan?

Abim terdiam sebentar. Teringat pada sosok yang selalu ia harapkan untuk menjadi saudara kini malah ditolak olehnya karena lukanya sendiri.

             Abim menengok pada figura di ujung mejanya. Figura yang selalu ia tutup namu tak pernah sanggup untuk dibuangnya sejak dia pindah ke rumah ini.

             Abim menghabiskan waktunya menyelam pada masa lalu di akun sosial medianya dahulu. Bukankah orang berkata bahwa sosial media adalah album foto digital? Abim setuju. Sangat setuju. Pasalnya, akun facebook semasa SMA nya benar-benar berisi kebodohan dan keriuhan masa SMA nya bersama kedua belas teman-temannya. Foto dirinya bersama Satria yang di beri caption 'brother like' itu membuat Abim menertawakan dirinya sendiri.

             Abim merasa sok baik, sok mencintai sahabat-sahabatnya seperti keluarga sendiri. Namun saat mereka benar-benar menjadi keluarga, Abim membencinya.

             Tidak, Abim bukannya membenci hasilnya. Tapi Abim membenci prosesnya. Abim masih bertanya-tanya apakah sang Ibu benar-benar menceraikan Ayah kandungnya untuk menikahi Ayah Satria atau tidak. Abim masih tidak tahu apa yang disembunyikan sang Ibu di balik alasan perceraiannya. Semuanya terlalu baik-baik saja di mata Abim. Abim menutup matanya terlalu lama sehingga hanya dirinya saja yang tidak tahu apa-apa.

             Namun jika Abim boleh jujur, di satu sisi hatinya merasa tidak layak untuk marah. Pasalnya, ia melihat sang Ibu jauh lebih bahagia bersama Ayah tirinya dibanding dengan Ayah kandungnya. Ayah kandungnya madih bertanggung jawab secara finansial pada dirinya, namun secara support mental ... Abim mau tidak mau harus mengakui Ayah nya nol besar dibandingkan Ayah kandung dari Satria yang kini juga adalah Ayahnya.

             Kembali pada sosial medianya yang lain, Abim hanya meninggalkan satu komentar pada unggahan teman lamanya, Nuno, lalu beranjak ke kasur. Ia ingin tidur dan pura-pura tidak tahu. Tapi matanya tidak mau memejam.

             Pikiran yang sudah ia tebas sejak lima tahun lalu berangsur naik kembali ke permukaan. Meluap di saat dirinya terguncang lagi oleh kehadiran Satria yang muncul sebagai kakak dan sobat yang sama seperti lima tahun lalu.

             Suara ketukan pintu membuyarkan fokus Abim. Suara sang Ayah tiri menelusup ketelinganya, meminta izin untuk membuka pintu. Abim diam membuat Ayah tirinya mengetuk pintu dan bertanya lagi. Tak ada jawaban. Abim masih sibuk memandangi langit-langit.

             Sang Ayah membuka pintu, "Dek...? Loh, Papa kira kamu tidur Abim." Ujar Ayah saat melihat Abim ternyata tidak tertidur. Namun ia sadar ada yang aneh.

             Abim tidak menolak panggilan 'Dek' dari sang Ayah. Padahal biasanya Abim akan menepis dan berdecak berkata bahwa dirinya bukanlah adik Satria dan bukan anaknya. Yah,  Abim dan egonya yang tinggi.

             "Abim, ayo makan." Ayahnya memanggil lembut dari daun pintu. Namun Abim masih fokus pada langit-langit. Ayahnya beranjak mendekat dan duduk di bangku sebelah kasur Abim. Abim tidak bermasalah dengan jarak mereka yang lebih dekat atau sang Ayah yang menginvansi daerah privasinya—begitu kata Abim biasanya—semaunya.

              "Om, kok Om bisa nikah sama Mama?" Abim bertanya langsung tepat setelah sang Ayah duduk. Sang Ayah menatap heran. Sudah lima tahun pernikahannya dan sang istri terjalin, namun ini pertama kalinya Abim mempertanyakan hal ini.

                "Abim kenapa baru tanya sekarang?" Respon sang Ayah—yang masih dipanggil Om olehnya—membuat Abim bingung, "Memangnya harusnya kapan saya nanya?" Pria yang lebih tua tertawa sedikit mendengarnya, "Kalau Abim ngira Papa itu selingkuhan Mama, jawabannya engga." Abim terbelalak dengan jawaban pria tua di hadapannya, membuatnya bangun seketika menoleh dengan wajah terkejut. Wajah pria itu masih sangat santai.

             "Sini duduk dulu yang bener, Papa ceritain gimana Papa bisa nikah sama Mama."

CHARETEENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang