Pemilihan yang sudah di depan mata berhasil membuat Dares kepayahan. Bagaimana tidak dengan beberapa rapat yang terus muncul dengan beberapa bentrokan opini dan beberapa anggota yang hanya menumpang nama.
Lalu, adik-adik kelas yang tidak punya tata krama. Bisa dibilang, golongan MPK tengah bentrok satu sama lain karena satu hal.
"Aa Dares ganti aja sih! Ini itu aja keteteran mulu!" Bian, teman sekelas Vernon yang sekaligus perwakilan MPK kelasnya berucap.
Chiko dan Devan hanya menegur dengan tegas. Namun sepertinya Vernon yang terus terlibat dengan teman seangkatannya itu cukup geram mendengar omongan itu. Vernon bukan anak yang tempramen. Dia tergolong tenang dan tidak terlalu mudah terpancing. Sepertinya sebelum Bian mengucapkan itu di saat preparasi pemilihan, Bian sudah membahas hal ini di kelasnya.
Vernon yang sudah meninggikan suaranya ditahan oleh Dares. Yah, bukannya Dares tidak sakit hati. Tapi Dares tahu diri kalau ucapan Bian memang benar, di saat yang sama, hal itu tidak layak diributkan apalagi sampai memicu baku hantam di ruangan rapat.
"Cunguk! Mentang-mentang temen sia, sia bela! Akuin atuh, emang bener kata-kata aing!" Bentak Bian pada Vernon. Walau sudah ditahan oleh Dares, Devan, dan yang lain. Mereka tetap saja meneriaki satu sama lain.
"Lo diem! Cuman numpang sama doang, gossip doang pula! Ngaca apa guna lo di sini. Seenggaknya Bang Dares masih mau turun tangan bantuin seksi yang kurang tangan!" Vernon berteriak balik. Bian tentu saja tidak diam. "Udah Ver...." Ucapan Dares pada keduanya tak dihiraukan. Adu mulut mereka masih berlanjut.
Suara gebrakan keras mengheningkan seisi ruangan rapat. Dares dengan tangannya yang memerah hanya menatap keduanya dingin, "Kalian berdua bisa dengerin saya dikit ga?" Tanya Dares pada Vernon dan Bian.
Devan dan Chiko juga tidak mau bergerak dulu. Sangat jarang, bisa dibilang langka, untuk melihat seorang Daresta Kadavi Adiningrum marah. Sekalipun kesal ia hanya akan mengeluh sedikit lalu tertawa selang waktu kurang dari satu menit. Mungkin memang benar kata orang, kemarahan orang yang tidak pernah marah adalah kemarahan yang paling mengerikan.
"Bian kalau ngerasa lebih bisa dari saya mah, silahkan. Kalau kata orang ketua wajib kelas dua, biar bangku saya sebagai ketua saya kasih ke kamu. Kamu yang jalanin. Saya juga engga pernah buat minta jadi ketua-ketuaan." Dares menawarkan tenang, "Saya tahu saya kurangnya banyak, dek. Ngaku juga saya mah kalau Chiko sama Devan lebih karismatik dan tertata buat jadi ketua. Tapi bukan berarti kamu seenaknya bicara seolah saya engga berusaha."
Suara ketukan pintu yang menunjukan Hugo dan Satya tak lama setelahnya membuat semua mata di ruangan itu melihat ke arah pintu. Satya dan Hugo yang hanya ingin menyerahkan nama wakil kelas yang akan menghadiri rapat terdiam canggung pada suasana yang cukup berat di ruang rapat.
"Buset, naon kalian ngeliatin aing sama Satya?" Hugo yang tidak peka dengan suasana bertanya heran. Dares hanya tersenyum, "Sini mana yang jadi perwakilan kelas buat rapat?" Dares meninggalkan Bian dan Vernon, menghampiri Satya dan Hugo yang membeku di pintu. Hugo hanya menyerahkan selembar kertas yang berisi perwakilan rapat dari kelasnya dan dari kelas Satya. Katanya sih, ajang go green dengan penghematan penggunaan kertas, walau emang Hugo aja yang mageran.
"Hatur nuhun. Udah balik sana nya, aing teh juga mau balik ke kelas. Kalian juga ya, persiapannya lanjut sehabis jam istirahat kedua wae." Dares melewati keduanya untuk keluar dari ruang rapat. Satya tidak setumpul Hugo. Hugo tidak mengetahui siapa yang bermasalah dengan Dares. Ia hanya bisa membaca ekspresi mukanya. Tapi Satya bisa melihat semua yang di ruangan itu sangat tegang, bahkan Chiko, Vernon, dan Devan.
"Jalan duluan gih. Mau ngomong sama bule." Satya berucap. Hugo yang masih memperhatikan punggung Dares yang menjauh menggeleng, "Geret wae semua. Chiko ama si Devan juga." Ucapnya berjalan duluan. Devan, Chiko, Vernon, dan Satya yang mendengar Hugo hanya berjalan mengikuti Hugo meninggalkan ruangan itu. Satya berjalan sedikit cepat untuk berjalan bersebalahan dengan Hugo, "Mau ngomong dimana? Engga di pohon belakang wae?" Tanya Satya khawatir. Hugo menggeleng, "Si Dares kasih napas dulu atuh, Ya. Kalau ada kita-kita mah nambah beban pikiran deui." Jawab Hugo santai.
Atap sekolah adalah tempat persembunyiaan Chareteen yang lain. Jika tidak untuk tidur, bolos, ya untuk menghindari razia rambut dadakan.
Hugo hanya memilih untuk mengambil tempat rebahan yang paling sejuk. Matanya tidak memandang kepada siapapun, "Kalian teh ngapain? Dares sampe marah besar begitu?" Hugo bertanya dengan santai. Walau sebenarnya bagi mereka, aura Hugo cukup ... mengintimidasi.
Suara pintu untuk ke atap sekolah terbuka, memunculkan Joshua dari baliknya. Tatapannya yang biasanya teduh menatap penuh khawatir, "Kalian kenapa? Tadi Abang ke ruang rapat mau ngajak makan katanya kalian pergi semua. Suasananya juga ga baik?" Johan bertanya. Vernon yang ada di sana hanya mulai menceritakan semua yang terjadi, mungkin sedikit terlalu banyak sehingga mengubah ekspresi khawatir itu menjadi kesal.
"Abang cari Dares dulu ya. Kamu jangan berantem lagi sama, Bian ya, Dek. Nanti baikan." Joshua berucap sebelum meninggalkan atap sekolah dalam keheningan.
![](https://img.wattpad.com/cover/218152200-288-k190526.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
CHARETEEN
FanfictionChareteen adalah sekelompok pemuda paling bahagia di Bandung. Tapi, itu adalah kisah lima tahun yang lalu. Lalu, bagaimana jika sekarang? CHARETEEN : (n) ketika SEVENTEEN melokal dan menjadi tiga belas pemuda yang pernah merajai SMAN 2 Bandung.