Aguas Calientes
Setelah dua jam yang penuh dengan pemandangan indah dan obrolan menyenangkan dengan seatmate-ku a.k.a Harlan si smooth-talker, kereta akhirnya berhenti di stasiun Aguas Calientes.
Aku dan Harlan menunggu sampai sebagian besar penumpang sudah turun, baru kami mengemasi barang dan berjalan perlahan keluar kereta, menyusuri peron yang terbuka, mencari jalan keluar dari stasiun yang penuh dan ramai sekali siang ini.
The beauty of traveling is you can always meet new people.
Orang-orang yang nggak pernah ada di hidup kita sebelumnya, orang-orang yang sebelumnya nggak kita tahu bahwa mereka eksis di dunia, orang-orang yang berbeda dengan kita.
Aku menatap punggung bidang Harlan di depanku. Tas ransel yang menutupi punggungnya bergoyang seiring dengan ia berjalan dengan langkah mantap dan yakin, bermanuver di sela-sela keramaian orang, seolah ini bukan kali pertama ia mengunjungi Aguas Calientes.
Dari obrolan kami di kereta tadi, aku merasa cukup beruntung bahwa berkenalan dengan stranger yang semenyenangkan Harlan. Orang Indonesia pula. Seberapa besar coba kemungkinannya bisa duduk bersebelahan di kereta menuju pedalaman pegunungan Andes, delapan belas ribu kilometer jauhnya dari Jakarta. Dan untungnya, sejauh ini dia nggak memancarkan vibe serial killer yang creepy. Semoga aja ya, Harlan bukan semacam Ted Bundy.
KAMU SEDANG MEMBACA
happenstance
RomanceIntertwined stories about people who meet in unexpected times, unplanned circumstances, and fortuitous serendipity. #1 wanderlust: Harlan Malik memberikan waktu lima tahun bagi dirinya untuk keliling dunia menjadi travel photographer/writer sebelum...