dovetail | part 1

8.7K 1.2K 76
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Budapest, Hungary.

Traveling alone will be the scariest, most liberating, life changing experience of your life. Try it at least once.

Aku memalingkan pandangan dari banner raksasa bertuliskan quote sok-inspiratif sepanjang koridor menuju pengambilan bagasi. Untuk orang yang nggak suka traveling sendiri, I wholeheartedly disagree with the quote.

Meskipun menurut survey yang dilakukan British Airways pada 2018 ke 9000 wanita, lebih dari 50 persen mengatakan mereka pernah solo traveling. Bahkan 75 persen-nya merencanakan melakukannya di masa yang akan datang—yang artinya jumlah female solo traveler akan terus mengingkat. Seharusnya aku menjadikan hasil survey tersebut sebagai sesuatu yang inspiratif, but sorry—what's the point of experiencing the adventure alone? Aku butuh seseorang untuk berbagi kebahagiaan, berbagi cerita. If that makes me less of a badass explorer, so be it.

Sembilan belas jam penerbangan dan dua layover dari Minneapolis ke Budapest membuat badanku terasa remuk. Untung nggak ada lagi pengecekan paspor dan visa karena semuanya dilakukan ketika aku mendarat di Munich.

Ketika sampai di area baggage claim, conveyor belt nomor 3 sudah berjalan dan dengan cepat aku menemukan koper kuning mencolok milikku. Euh, nggak sabar rasanya aku sampai di hotel untuk mandi dan melepaskan diri dari pakaian yang terasa lengket.

Setelah mengamankan koper, aku mencoba mencari petunjuk di mana bisa menemukan taksi yang dapat membawaku ke tengah kota Budapest. Seandainya ada Harlan di sini, aku nggak perlu mikir karena sudah pasti dia yang mengarahkanku ke tempat menunggu taksi. Sayangnya, saudara kembarku itu membatalkan perjalanan pada detik-detik terakhir... untuk mengunjungi Machu Picchu di Peru karena merasa ini adalah kesempatan terakhirnya sebelum balik ke Jakarta, for good, dan meneruskan bisnis keluarga.

I tried to understand, but I failed.

Sampai saat ini aku masih kesal banget. Sepanjang tahun, aku menyusun itinerary perjalanan menyusuri negara-negara Balkan dan meminta dua atau tiga minggu waktu Harlan untuk break dari petualangannya keliling dunia. Lalu tiba-tiba dia membatalkan pada detik-detik terakhir, setelah aku memesan tiket pesawat, menyewa mobil, dan booking beberapa hotel.

happenstanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang