"Lo mau mandi duluan, Harp?"
Aku menjatuhkan diri ke atas tempat tidur dan menggeleng, "Duluan aja."
"Oke." Beberapa detik kemudian, Rama sudah menghilang di balik pintu kamar mandi.
Aku menghela napas lalu mengeluarkan ponsel dari saku jaket. Di layar ada beberapa notifikasi pesan, salah satunya dari Harlan, yang bilang kalau dia sudah ada kembali ke daerah dengan sinyal ponsel.
Aku langsung menghubunginya.
"Hola mi querida hermana," sapanya setelah nada sambung ketiga.
"Di mana, nih?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Huacachina, lima jam selatan Lima."
"Peru?"
"Di dekat Brebes," suara Harlan terdengar sebal. "Ya di Peru, lah, Harp."
Aku menahan tawa, "Kemarin-kemarin nggak ada sinyal memangnya ke mana?"
Harlan mengembuskan napas, "Cordillera Blanca, pegunungan Andes."
I have no idea where it is.
"Habis ini mau ke mana?" Aku bertanya sambil bangkit untuk melepas trench coat yang maish menempel di badan. "Pulang ke Jakarta?"
"Galapagos," suara Harlan terdengar letih. "Ada kerjaan. Terakhir."
Kini aku berjalan menuju jendela dengan tirai yang terbuka, memperlihatkan pemandangan jalan raya di tengah kota Budapest yang masih sibuk dan ramai. Mendengar suara Harlan yang nggak seperti biasanya membuatku sedih. Aku bisa membayangkan kerlip cahaya matanya yang hilang setiap kali kami menyinggung atau membahas topik ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
happenstance
RomanceIntertwined stories about people who meet in unexpected times, unplanned circumstances, and fortuitous serendipity. #1 wanderlust: Harlan Malik memberikan waktu lima tahun bagi dirinya untuk keliling dunia menjadi travel photographer/writer sebelum...