Gue memandang pesan dari Harlan yang ada di layar ponsel sambil berpikir mau membalas apa. Pesannya singkat, hanya saja gue nggak tahu bagaimana harus menjawabnya.
-------------------------
Harlan: Jadi lo sekamar dengan Harper?
-------------------------
Mampus. Mau jawab jujur pasti gue dihajar, mau bohong tapi kalau Harper bilang bahwa kami memang sekamar gimana? Dan bagaimana gue meyakinkan Harlan kalau gue nggak ngapa-ngapain Harper? I mean, some kisses here and there can't be categorized as 'ngapa-ngapain', but still—this is the overprotective Harlan we're talking about.
Gue melirik pintu kamar mandi, di mana Harper sudah berada di dalamnya selama setengah jam terakhir, untuk ke sekian kalinya. Lama amat, sih, dia di kamar mandi. Ngapain coba? Nyikat kloset?
Sebelum menjawab pertanyaan Harlan, gue merasa harus koordinasi dulu dengan Harper. Jadi kalau memang ternyata Harper nggak mengatakan hal yang sebenarnya, seenggaknya pernyataan kami berdua sinkron.
Setelah sekian lama tatapan mata gue terpingpong antara layar ponsel (takut Harlan tiba-tiba menelepon) dan pintu kamar mandi (berharap segera terbuka), akhirnya Harper keluar kamar mandi juga, mengenakan piyama yang tadi pagi baru dicuci dan baru saja kering.
Sambil mengeringkan rambut dengan handuk, Harper menatap gue dengan heran, "Kenapa lo ngeliatin gue aneh gitu? Ada yang salah?"
Buru-buru gue menggeleng, "Bukan, bukan."
"So why the expression? Kayak seluruh beban dunia ada di pundak lo." Harper berjalan ke meja makan dan meraih gelas berisi air minum.
KAMU SEDANG MEMBACA
happenstance
RomanceIntertwined stories about people who meet in unexpected times, unplanned circumstances, and fortuitous serendipity. #1 wanderlust: Harlan Malik memberikan waktu lima tahun bagi dirinya untuk keliling dunia menjadi travel photographer/writer sebelum...