Astaga.
Did I really say that?
Did I really offer to share a room with Harlan?
Melihat dari betapa shock-nya ekspresi Harlan, sepertinya aku kata-kata tersebut memang keluar dari mulut dan bukan hanya berada dalam kepalaku.
"Sof—" Harlan mengerjapkan mata beberapa kali, tampak masih shock. "—wow."
Now I am officially losing my dignity.
Buru-buru aku berusaha menyelamatkan sisa harga diri dengan berkata, "Eh—kalau nggak mau gapapa. Forget what I just said."
Harlan meletakkan tangan menutupi mulutnya, terlihat menahan senyum. Matanya memandangku dengan tertarik—seperti berkelip karena sesuatu yang aku nggak tahu. Oh wait—mungkin berkelip karena kebodohanku.
Setelah beberapa detik penuh dengan ketidakpastian dan merasa bahwa masa depanku langsung suram (karena apa yang bisa diharapkan dengan hidup tanpa harga diri?), Harlan memecah keheningan dengan mengulurkan tangan dan berkata, "Mana kartu akses kamu? Sini."
Reflek, aku menyerahkan sepasang kartu akses tersebut ke tangan Harlan.
"Kamu tunggu sini aja," katanya singkat sebelum berbalik meninggalkanku sendiri berdiri di tengah courtyard, berjalan menuju front desk.
KAMU SEDANG MEMBACA
happenstance
RomanceIntertwined stories about people who meet in unexpected times, unplanned circumstances, and fortuitous serendipity. #1 wanderlust: Harlan Malik memberikan waktu lima tahun bagi dirinya untuk keliling dunia menjadi travel photographer/writer sebelum...