Gue hanya setengah mendengarkan apa yang dijelaskan Dario pada saat kami berkeliling reruntuhan Machu Picchu. I know the story like the back of my hand—saking seringnya dulu mencari informasi mengenai Machu Picchu. Yang gue lakukan adalah berusaha menyimpan semua hal yang gue lihat, raba, dan rasa ke dalam sel-sel kelabu otak supaya nggak akan pernah bisa melupakan tempat ini.
I did that to every place I visited.
Namun Machu Picchu spesial, karena ini seperti a long-awaited dream comes true. Sure, Patagonia was amazing, Grindelwald was beautiful, and San Sebastian was picturesque—but they weren't in my childhood imagination.
Machu Picchu was.
Ketika Sophia mendengarkan dengan sungguh-sungguh penjelasan dari Dario mengenai setiap tempat dalam reruntuhan citadel, gue sibuk dengan diri sendiri. Sesekali menoleh ke arah Sophia, yang mesti gue akui, terlihat tertarik dengan semua sejarah di balik Machu Picchu karena bolak-balik bertanya tentang berbagai macam hal.
Tadinya gue pikir Sophia merupakan tipe cewek yang datang ke suatu tempat untuk foto-foto. Doin' it for the 'gram. Tapi lagi-lagi, pepatah 'jangan menilai buku dari sampulnya' sangat tepat sekali untuk Sophia. Membuat gue berpikir, mengapa selama ini nggak pernah menemukan cewek sepertinya.
"Kalau Harlan, sih, kayaknya sudah hapal semua seluk beluk Machu Picchu." Gue mendengar Sophia berkata kepada Dario dalam bahasa Inggris saat gue memotret pegunungan yang membentang di belakang citadel. "He doesn't need the explanation."
KAMU SEDANG MEMBACA
happenstance
RomanceIntertwined stories about people who meet in unexpected times, unplanned circumstances, and fortuitous serendipity. #1 wanderlust: Harlan Malik memberikan waktu lima tahun bagi dirinya untuk keliling dunia menjadi travel photographer/writer sebelum...