Perast, Montenegro
So much for kicking Harlan out of the apartment.
He's sticking to Harper and me like a piece of gum at the bottom of our shoes.
Yang ada kami bertiga menghabiskan waktu menatap sunset di sebuah desa kecil bernama Perast, sekitar 20 menit utara downtown Kotor, dan terletak memanjang di tepi Bay of Kotor. Idyllic small village—seperti tempat yang akan gue pilih menghabiskan waktu kalau gue traveling sendirian.
Gue memandang Harlan, berdiri di pinggir deck kayu dengan pot bunga sebagai pembatas antara Perast Lake Promenade dengan laut. Ia seperti sedang melamun menatap gereja yang dibangun di atas pulau kecil di tengah lautan. Harper nggak kelihatan, karena sedang berada di toilet.
"Lo kayak banyak pikiran," ujar gue sambil menyesap perlahan wine dalam gelas.
Harlan, nggak langsung menjawab, hanya melirik gue sekilas lalu mengalihkan pandangan kembali ke gereja di kejauhan.
Perast is a lovely small village—could've been perfect for Harper and me. Without Harlan.
"You're sulking, you know." Gue berkomentar lagi, sambil menahan senyum. Jarang-jarang gue melihat Harlan kayak gini. "Ada yang mau diceritain ke gue?"
Lagi-lagi Harlan melirik, lebih tajam dari sebelumnya.
Gue mengangkat kedua tangan, "Hey, gue cuma nanya. You've been sulking since you arrived—dan nggak kelihatan seperti Harlan yang gue kenal."
Harlan nggak memberikan respons. Keningnya aja yang berkerut makin dalam.
"Dan hanya menunggu waktu sampai Harper udah nggak kesal, untuk dia menanyakan hal yang sama..." gue mengangkat bahu, nyengir.
"You suck at this as much as I do," komentarnya singkat. Wajahnya masih kelabu.
"Suck at what? I never suck at anything." Gue nyengir, pura-pura nggak mengerti.
Harlan mengabaikan pancingan gue—untuk sementara. Nggak sampai sepuluh detik kemudian, dia menoleh dan memperhatikan gue dengan saksama. Membuat gue merasa risih.
"Kenapa nih?" tanya gue lagi, melirik ke pintu keluar Hotel Conte, yang teras promenade-nya adalah restoran tempat kami duduk-duduk sore ini. Harper masih belum kelihatan.
"Gue harus balik ke Jakarta habis ini." Harlan mengembuskan napas, masih dengan ekspresi yang kelihatan berpikir.
Oh. Gara-gara itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
happenstance
RomanceIntertwined stories about people who meet in unexpected times, unplanned circumstances, and fortuitous serendipity. #1 wanderlust: Harlan Malik memberikan waktu lima tahun bagi dirinya untuk keliling dunia menjadi travel photographer/writer sebelum...