•°Cinta Tak Terucap;40°•

41 7 0
                                    

•°LavenderWriters Project°•
•°Cinta Tak Terucap © Kelompok 4°•
•°Part 40 By: Mayolif °•
•°Minggu, 03 Januari 2021°•



💜Happy Reading💜

Ray tak henti begumam kata, "wow." Tiap kali melihat pemandangan disekelilingnya. Pemandangan dihadapannya ini sangat sulit untuk dideskripsikan dalam setiap katanya. Ia nyaman berada di tempat ini dan ia berencana untuk tak akan pulang. Namun, tempat ini begitu sunyi. Ia sangat kesepian, tak ada lawan yang bisa ia ajak bicara. Ia menjadi rindu dengan para sahabatnya.

Sebuah isakan terdengar dikedua telinganya. Dahinya mengerut, kedua alisnya bahkan hampir bertautan. Siapa yang menangis? Ia sejak tadi tak melihat ada orang di sini dan tiba-tiba ada orang yang menangis.

Ray berjalan mencari orang itu. Makin lama, suaranya makin terdengar jelas. Terlihat, seorang wanita dengan pakaian berwarna putih. Wajah wanita itu tak asing dipenglihatan nya.

Wanita itu menatap Ray dalam. Ray mendekati wanita itu dan bertanya, "Ibu siapa? dan mengapa Ibu menangis?"

Wanita itu tak menjawab, hanya air matanya terus keluar membasahi kedua pipinya. Seorang perempuan cantik keluar dari balik pohon. Ia menghampiri wanita itu dan langsung memeluknya. Setelah itu, munculan seorang pria memeluk keduanya. Satu demi satu, orang bermunculan dari balik pohon. Hingga kini, jumlah laki-laki ada lima orang, sedangkan yang perempuan ada enam orang. Mereka secara bersamaan menatap Ray dan mengulurkan tangannya, agar Ray ikut dengan mereka.

Ray bingung. Haruskah ia menerima uluran itu atau menepisnya? Sedangkan ia sendiri, masih ingin di tempat ini. Sebuah tangan halus menyentuhnya, Ray menatap orang itu.

"Pergilah. Ikutlah dengan mereka. Sebelum, aku mengajakmu ke suatu tempat yang lebih indah dari ini," tuturnya sambil tersenyum. Suaranya begitu merdu, membuat siapa saja yang mendengarnya pasti langsung jatuh cinta.

"Baiklah." Meskipun Ray masih ragu, ia tetap mengulurkan tangannya secara perlahan-lahan. Menjabat tangan orang yang pertamakali ia temui. Orang itu tersenyum dan segera membawa Ray ke suatu tempat dan diikuti dengan yang lain.

*****

Seorang dokter menempelkan alat pacu jantung di dada Ray berkali-kali. Hingga garis datar itu akhirnya bergelombang seperti sedia kala. Dokter itu menghela napas lega. Kondisi pasiennya itu mulai stabil.

"Dok, bagaimana kondisi anak saya?"

"Alhamdulillah, kondisi anak Ibu mulai stabil. Dan, dia sudah melewati masa kritisnya. Sebentar lagi anak Ibu akan siuman. Kalo begitu saya tinggal, Bu, Pak. Mari," pamit dokter itu dengan ramah.

Kedua orang Ray bersyukur. Akhirnya, anak semata wayang mereka sebentar lagi akan segera siuman. Ratna menatap anaknya tersenyum bahagia. Ia melihat jari tangan Ray perlahan bergerak. Tak lama dari itu, kelopak matanya juga perlahan terbuka.

"Mamah, Papah," panggil Ray dengan suara yang begitu lirih.

"Iya sayang, mau apa biar Mamah ambilin?" tanya Ratna.

"Minum."

Ratna dengan telaten meneteskan air melalui sedotan. Ia tak mengijinkan anaknya minum melalui gelas secara langsung, anaknya itu baru saja terbangun dari tidurnya dua Minggu yang lalu. Terdengar suara dorongan pintu dan menampilkan wajah fresh sahabat-sahabatnya itu.

"Ray, akhirnya lu sadar juga," ujar Afnan.

Mereka segera menghampiri Raynar. Ray tersenyum, ia ingin sekali bersuara namun, tenggorokannya terasa sakit. Ia saja tadi dengan susah payah memanggil orangtuanya dan meminta minum.

Makin hari, kondisi Ray makin membaik. Ia lusa diijinkan pulang oleh dokter. Ia tak tahan dengan bau obat-obatan yang menyengat. Apalagi, jika ia harus minum obat dan obatnya itu sangat pait. Ia tak bisa seperti kebanyakan orang, sekali teguk obatnya masuk ke dalam. Ia harus mengunyahnya atau menumbuk obat itu agar mudah ia telan.

"Ray, gue mau ngomong sesuatu ke lu," ucap Naya. Saat ini di ruangan bercat putih itu hanya terdapat Naya dan Ray.

Ray mengangguk dan menatap Naya untuk melanjutkan ucapannya. Naya menundukkan kepalanya semakin dalam, tangannya aktif memelintir ujung-ujung bajunya.

"Nay, lu mau ngomong apa?" tanya Ray lembut.

"Gu–gue, gue su–ka sama lu. Lu ju–ga suka gu–gue, kan?" tanya Naya terbata-bata. Kedua pipinya memerah, ia begitu gugup sekarang. Ia juga tak berani menatap Ray.

"Gue dulu emang jadiin lu pelampiasan. Karena, Rafa gak pernah ada saat gue butuhin dan lu datang diwaktu yang tepat. Tanpa gue sadari, gue terperangkap dalam pesona lu dan gue sulit keluar dari situ," jelas Naya.

Tak kunjung mendapat jawaban, ia melihat kearah Raynar. Mata mereka saling bertemu. Ray tak mengucapkan sekata pun, ia hanya diam dan terus menatap Naya dalam. Biarlah matanya yang berbicara dan menjelaskan perasaannya selama ini pada Naya.

Ia mengusap rambut Naya dan mengecup keningnya cukup lama. Ciuman di kening menunjukkan kasih sayang yang ia berikan pada Naya. Ray berlanjut mencium, kedua mata Naya. Ia murni dan tulus mencintai Naya. Kemudian, Ray mengecup pipi Naya. Dan terakhir, Ray mencium kedua tangan Naya, menandakan ia sangat menghormati perempuan itu.

"Nay, gue mau tidur dulu yaa. Ngantuk," ucap Ray sambil menguap lebar. Setelah Ray mencium kedua tangan Naya, ia merasa begitu ngantuk. Padahal, ia baru saja tertidur.

"Kalo gitu, gue pulang dulu, Ray. Bye." Naya menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri sembari pergi menjauh dari hadapan Ray.

Perasannya kini tak menentu. Ray tak menjawab ucapannya. Apakah itu artinya Ray menolak dirinya? Tapi, Ray mencium kening, pipi, mata dan kedua tangannya seolah menyalurkan perasaannya melalui ciuman itu.

Kenapa ia merasa, kalo Ray akan pergi jauh darinya? Semoga tak terjadi apa-apa dengan Ray. Naya meyakinkan dirinya yang sibuk menghawatirkan kondisi Ray.

*****

Naya bersenandung riang memasuki kamar pinknya. Ia segera mandi karena badannya terasa begitu lengket. Suara ketukan pintu yang terkesan tak sabaran mengganggu ritual mandinya. Ia keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah lengkap. Ia segera membuka pintu kamarnya.

Naya menatap Abang sekaligus kembarannya dengan aneh. Rambutnya sangat berantakan, ia masih mengenakan kolor berwarna kuning dengan gambar Spongebob tanpa atasan, membuat badan sixpack nya terlihat. Jika Naya bukan kembarannya, dapat dipastikan Naya akan segera meleleh disajikan pemandangan gratis seperti ini. Hanya saja celana kolornya mengurangi kegantengannya. Andai itu tak ada gambar Spongebob, hanya warna kuning.

"Ke napa?" tanya Naya setelah terdiam cukup lama.

"Ray." Hanya satu kata dapat membuat jantungnya berdegup tak beraturan. Firasatnya menjadi tak enak. Semoga bukan kabar buruk.

"Ray ke napa?"

"Di–dia meninggal." Seketika badan Naya terasa lemas. Ia tak sanggup menopang kedua kakinya untuk berdiri.

Aksa mendekap Naya. "Kita ke rumah sakit sekarang, Nay. Gue tadi dikasih tau Afnan, bahwa Ray udah gak ada. Tadi dia nelpon lu, tapi gak ku angkat."

"Gue pake baju sama celana dulu," pamit Aksa.

Naya menatap ke depan dengan kosong. Apakah maksud Ray, ia mau tidur adalah tidur tuk selamanya?

Aksa kembali dengan pakaian panjangnya. Ia segera menarik adiknya untuk mengikutinya.

TBC💜

TBC💜

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
04;Cinta Tak Terucap✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang