Pagi itu adalah pagi yang cerah sekalian dingin bagi Bulan. Gadis muda itu kini berjalan pulang dari pasar ikan yang dibuka jam empat pagi karena mendapat perintah dari Ibu Dona sebagai pekerjaan pertama sekaligus hukuman untuknya.
Padahal setahu Bulan dia tak memiliki masalah tapi ia tetap melakukannya dikarenakan dirinya adalah bawahan dari Bu Dona. Dalam perjalanan sesekali Bulan bersin akibat cuaca yang masih sejuk bahkan dari beberapa tempat dihalangi kabut.
Sebenarnya Bulan juga salah karena cuma memakai baju pelayan yang tipis. "Kalau begini dari tadi aku bawa jaket atau syal saja," sungut Bulan berbicara sendiri.
Dia terus berjalan melewati pintu gerbang utama kediaman Surya Alexander dan menurut peraturan yang berlaku seorang bawahan seperti Bulan tidak diperkenankan untuk memasuki rumah menggunakan gerbang utama. Mereka hanya memiliki akses memakai sebuah gerbang kecil yang berada di halaman belakang. Letaknya juga tak jauh dari dapur.
Matahari mulai menampakkan sinar tatkala Bulan masih berjalan. Dia merasa agak lega ketika tubuhnya disinari cahaya matahari. Setidaknya gadis itu tidak lagi menggigil.
Bulan kembali berjalan dalam diam sekaligus cepat. Dua tas belanja yang terisi penuh menjadi penyebab dan dampaknya kedua tangan Bulan terasa sangat pegal. Kalau mau beristirahat tentulah harus sampai secepat mungkin.
Namun secara mendadak langkahnya terhenti tatkala menemukan sosok pria asing memantau dari kejauhan rumah sang majikan. Dengan memanfaatkan sebuah teropong, pria itu terus melihat jendela kamar milik Surya yang masih ditutupi gorden.
Jaket kulit berwarna hitam selaras dengan sepatu boot. Meski memakai penutup kepala, Bulan bisa melihat rambut coklatnya tersembul. Dia tampak bukan orang jahat namun tetap saja membuat Bulan merasa siaga.
Penuh keberanian gadis muda itu berjalan mendekat kepada si lelaki yang kukuh memperhatikan kamar Surya. Dia baru melihat saat suara Bulan menyapa. "Permisi, kenapa kau melihat pada rumah majikan saya?"
Untuk beberapa detik si pria melihat kepada Bulan dan akhirnya tersenyum ramah. "Apa kau bekerja di rumah Surya?" Lelaki itu balik bertanya yang langsung dijawab dengan sebuah anggukan.
"Aku temannya Surya tapi pria itu tak mau aku masuk. Dia sedang kesal jadi ya begitulah, aku cuma memandang di sini," jelas si pria tenang.
"Sebenarnya aku mau memberikan sebuah undangan namun karena dia masih marah, pasti dia tak akan menerimanya." Pria itu memberikan jeda kala dia melihat pada sebuah kertas berbentuk persegi panjang tipis lalu berganti melihat pada Bulan.
"Kau boleh tidak membantuku? Tolong antar undangan ini pada majikanmu, katakan saja pada kawan lama dan juga sampaikan salamku, semoga cepat sembuh." Bulan menerima undangan itu dengan agak ragu dari tangan pria asing.
"Ok aku pergi dulu ya. Terima kasih atas bantuannya. Jangan lupa berikan undangan," kata si pria seraya berjalan pergi. Bulan sendiri masih termangu menatap undangan berwarna merah tersebut.
Ketika Bulan mengangkat kepala agar mengatakan sesuatu pada si pria asing, Bulan terkejut melihat dia sendirian. Akhirnya gadis itu segera memasukkan undangan yang diperolehnya ke dalam tas belanja dan melanjutkan perjalanan.
Gadis itu segera memanggil Bibi Sari selaku kepala koki untuk melapor belanjaan namun ada sedikit keanehan. Dapur yang tak pernah sepi karena para koki sering bekerja kini kosong.
Bulan segera berjalan masuk ke dalam rumah. Ternyata bukan hanya ruangan dapur, ruangan yang lain pun tidak ditemukan satu orang pun. Ke mana semua orang?
Perasaan Bulan entah kenapa menjadi tak enak. Dia lalu bergegas menuju ruang tamu begitu meninggalkan tempat kerja Bu Dona mungkin saja wanita paruh baya tersebut ada di sana.
Langkahnya yang bergegas perlahan pelan saat mendengar suara pilu seorang wanita menangis bersamaan intonasi keras dari pria yang dikenal oleh Bulan. Surya.
Bulan lantas berjalan memasuki ruang tamu dan dia menemukan para pelayan berdiri dengan ekspresi ketakutan apa lagi Ayu. Napas wanita itu tak teratur berbarengan tubuhnya ikut gemetaran hebat.
"Ampun Tuan, saya bersalah saya tak akan mengulanginya lagi," kata Bu Dona bergetar. Rupanya wanita yang menangis pilu adalah Ibu Dona.
Rambutnya sekarang terurai berantakan dan meski ditutupi rambut Bulan bisa melihat air mata terus mengalir di pipi, ada juga bekas kemerahan. Pundaknya pun bergetar hebat.
Bu Dona memandang pada Surya dengan pandangan mengiba namun bukannya mengasihani pria itu melayangkan tatapan tajam. Ekspresinya persis saat Surya memberikan pelajaran pada Pak Bejo.
Para pelayan yang berada di tempat tersebut cuma bisa diam, merunduk ketakutan melihat amarah Surya. Rak ada satu pun yang berniat untuk menolong atasan mereka seakan tahu konsekuensi yang didapat dengan membelot pada majikan mereka.
Hal ini menimbulkan ketakutan Bulan namun dia juga merasa simpati kepada Dona. "Katakan padaku siapa yang melaporkannya sampai-sampai kau melarang asisten pribadiku untuk tak merawatku lagi? Jawab!" bentak Surya.
"Tu-tuan sa-saya ...." tubuh Ayu makin bergetar saja bahkan wanita itu mulai menangis dalam diam. Kalau Dona memberitahu maka habislah riwayat Ayu.
Dia sudah melihat Surya memperlakukan Dona dengan begitu kejam dan Ayu tak mau ia mengalami hal yang sama.
"JAWAB!" tangan Surya terangkat hendak menampar pipi Dona sekali lagi akan tetapi sebelum sempat mendarat di wajah wanita paruh baya itu, Bulan langsung menghalangi dan alhasil tamparan keras diterima oleh gadis itu.
Saking kuatnya kacamata yang dikenakan Bulan jatuh terlepas. Surya terkejut bukan main dan amarahnya menghilang seketika.
❤❤❤❤
See you in the next part!! Bye!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Putri Malam(END)
Romance"Tuan, apa anda mau menambah kopi anda?" tanya Rembulan pada Surya. "Tidak usah, aku harus menghabiskan ini baru aku meminta kau membuatkannya lagi. Lebih baik kau duduk di sini saja." Bulan terpaku beberapa saat dan duduk dengan canggung di samping...