2. Maafkan Papa

721 94 10
                                    

Pagi ini aku masih terpekur di kamarku meratapi kesedihan mendalam ditinggalkan oleh seseorang yang paling berarti di dalam hidupku. Seandainya aku mempunyai seorang ayah, mungkin kesedihan ku tidak akan sedalam ini. Dari kecil aku tidak pernah bertemu ayahku, mengetahui wajah nya saja tidak. Mama hanya bilang kepada ku kalau ayah sudah meninggal. Setiap kali aku mengajak Mama bicara tentang ayah, Mama selalu saja menghindar, seolah ada yang ditutupi dari ku.

Beberapa kali Acil Yati mengetuk pintu kamar ku untuk menyuruhku makan. Tapi aku tak menghiraukan nya. Rasanya aku tak berselera untuk makan. Aku merasa seperti mati rasa. Jiwa ku serasa ikut terkubur bersamaan dengan jenazah Mama yang telah di semayamkan. Hidupku serasa tidak ada arti nya lagi.

"Nasha.."

Kali ini yang memanggilku bukan suara Acil Yati lagi. Suara pria yang tak asing menggema ditelinga ku, memanggil nama ku sembari mengetuk pintu.

"Sha. Ini aku, Adnan," ujar suara diluar sana.

Aku pun berdecak. Entah kenapa aku masih merasa kesal pada nya. Tentu aku tidak lupa dengan kejadian kemarin.

Saat pemakaman Mama, dia dan keluarga nya juga ikut mengiringi. Aku hanya bersikap dingin pada nya dan sangat sedikit sekali menghiraukan nya. Dan hari ini dia datang lagi.

"Sha, buka pintu nya," ujar nya lagi, suara nya terdengar memelas.

Dengan langkah gontai aku menuju pintu. Sebelum membukakan pintu itu, aku mengusap bekas-bekas air mata yang sejak tadi membasahi pipi ku dan memakai hijab bergo yang bergantung di gantungan belakang pintu. Ku buka pintu itu. Muncul lah sosok nya yang menatapku lekat. Aku membalas tatapan itu sebelum akhirnya memilih mengakhiri nya dengan berjalan menuju ruang depan dan duduk disana. Adnan mengiringi langkah ku dan duduk disampingku. Kami hanya duduk lesehan karena di rumah ku tidak ada sofa atau kursi tamu.

"Apa?" tanya ku ketus.

"Tadi Acil Yati bilang kamu belum makan dari kemarin. Ini aku bawakan bubur buat kamu. Dimakan." titah nya kepadaku.

Adnan memang lebih sering memakai bahasa Indonesia dibandingkan bahasa Banjar meskipun dia dapat mengerti ketika ada orang lain yang berbicara kepada nya menggunakan bahasa Banjar. Berinteraksi dengan anak Bandung ini membuatku juga lebih sering menggunakan bahasa Indonesia karena dengan sendiri nya ikut-ikutan menyesuaikan dengan gaya bicara nya. Hitung-hitung latihan memperlancar gaya bicara ku agar tidak kaku kalau mungkin suatu saat nanti aku bertemu orang luar Kalsel atau aku yang ke daerah luar Kalsel.

Aku menatap bergantian Adnan dan bubur itu. Aku tak berminat untuk mengambil bubur itu.

Terdengar helaan napas dari Adnan. "Mau disuapin?" tawar nya lembut.

"Gak usah, aku gak mau makan," tolak ku.

"Kenapa?"

"Gak laper," jawab ku dingin.

"Mana mungkin gak laper kalo belum makan dari kemarin."

"Mungkin. Buktinya sekarang aku gak laper."

Adnan tak menanggapi lagi ucapan ku. Dia membuka sterofoam tempat bubur itu. Aroma wangi bubur favorit ku itu mulai menyeruak menyerbu indra penciuman ku.

"Yakin gak mau?" tanya nya.

"Yakin!"

Adnan berlagak mencium aroma wangi bubur itu penuh kenikmatan. "Humm wangi banget, bikin ngiler. Ini kayak nya lebih enak dari biasanya deh. Wangi nya lebih menggoda, pasti bumbu nya lebih spesial dari biasanya. Ayam suwir nya, kecap nya, kerupuk nya, bawang goreng nya, dan kacang nya pasti bikin bubur ini makin nikmat. Apalagi kalau yang beli nya abang ganteng kayak aku." Adnan menatapku sembari menaik turunkan alisnya, terlihat sangat menyebalkan bagiku saat dia sok kegantengan seperti itu.

Life Is Boring (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang