6. Foto bareng

362 71 0
                                    

Sepanjang perjalanan hanya hening. Tak ada satupun dari kami yang memulai pembicaraan. Kak Daniel sibuk dengan setir nya, Kak Raya dengan ponsel nya, sedangkan aku dengan jendela mobil, aku suka melihat gedung-gedung tinggi ini, dan aku ingin sekali ke rooftop nya dan berteriak sekencang mungkin melepaskan semua lelah yang rasanya sudah menggunung menjadi beban dihidup ku.

Hari ini Papa benar-benar mengawasi Kak Daniel dan Kak Raya agar tidak meninggalkan ku lagi, alhasil aku memang ikut semobil dengan mereka sekarang. Perih rasanya tak dianggap. Kisah ku dengan ibu dan saudara tiri ku memang tidak seperti bawang merah bawang putih, yang dimana si bawang putih selalu mendapat perlakuan kasar, disuruh ini itu, dan di beda-bedakan. Di posisi ku memang tidak seperti bawang putih, tapi rasanya tetap sakit. Aku dianggap seperti tidak ada. Bahkan disaat aku menawarkan diri sekalipun untuk membantu pekerjaan dirumah, Tante Nida selalu menolak dan menyuruhku menjauh dari hadapan nya. Memiliki dua Kakak juga tidak berarti apa-apa, melainkan hanya rasa sakit yang ku rasa ketika aku berharap mereka akan mengakui dan menganggapku sebagai adik nya.

Jalanan pagi ini cukup padat, namun Alhamdulillah nya tidak macet. Tapi yang aku heran, kenapa Kak Daniel sekarang sudah memberhentikan mobil nya sementara sekarang masih belum sampai ke parkiran sekolah.

Aku menatap nya melalui spion tengah dengan tatapan sejuta tanya. Dapat ku lihat Kak Daniel juga menatapku dari kaca itu.

"Lo turun!" titah nya dingin.

"Hah?" Aku cengo.

"Lo turun disini. Kita berdua gak mungkin nurunin lo di parkiran sekolah, yang ada nanti semua orang malah curiga lagi," jelas Kak Raya.

Aku mengernyitkan alis. "Curiga kenapa?" tanya ku.

"Nanti orang-orang mikir kalau lo benar-benar sodara kita," jawab Kak Raya dengan santai nya.

"Tapi kan kita emang sodara."

Kak Daniel tak lagi menatapku melalui kaca spion tengah. Dia membalikkan badan nya dan menancapkan tatapan tajam nya pada manik hitam ku.

"Jangan pernah bilang itu ke siapa pun lagi. Adik gua cuma Raya, bukan lo!"

Deg... Seperti ada sesuatu yang runtuh dan hanya mengenai ku seorang.

Suara Kak Daniel sarat akan ke seriusan. Sangat terkesan dia tidak main-main dengan ucapan nya. Nampak tak ada sedikit pun rasa sayang yang terpancar dari sorot mata tajam nya. Setidak nya aku ingin dihargai dan diperlakukan dengan baik, bukan dingin, ketus, dan angkuh seperti itu. Kak Daniel kembali memalingkan muka menatap lurus ke depan.

"Cepetan turun!" titah Kak Raya disaat aku masih sibuk membendung air mata ku agar tidak tumpah.

Ku tarik napas ku dalam, ku hembuskan dengan tenang. Aku tahan sekuat tenaga agar hujan tidak kembali turun melalui pelupuk mata ku.

"Oke, aku bakal turun, tapi aku punya satu syarat," ucap ku.

Kak Raya dan Kak Daniel kompak mengernyitkan alisnya.

"Kak Raya jangan lagi lepas hijab nya. Aku gak suka Kak Raya bohongin Papa," kata ku.

Mendengar ucapan ku itu, Kak Raya langsung memasang ekspresi ketus nya. "Kenapa lo ngatur-ngatur gue gitu? Gue gak suka ya!"

Aku mengedikkan bahu. "Terserah Kak Raya. Kalau gak mau janji, aku gak bakalan mau turun disini, dan aku bakal ngaku-ngaku lagi ke semua orang kalau aku adik kalian." Aku sengaja mengancam nya.

"Jadi, lo ngancem gue?!" tajam Kak Raya.

"Mau janji gak?"

Kak Daniel seperti mengisyaratkan kepada Kak Raya agar menyetujui persyaratan ku.

Life Is Boring (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang