41. Tangis

282 43 0
                                    

VOTE SEBELUM BACA ^_^

******************

Sebuah tamparan mendarat tepat di pipi Raya hingga gadis itu berhenti berceloteh. Tangannya langsung naik memegangi pipi kanannya itu. Semua yang ada di sana sontak terkejut melihat kejadian barusan. Bahkan Pak Irwan pun tak menyangka Bu Nida bisa melakukan itu.

"Kamu bilang Mama jahat? Kamu berani berkata seperti itu di depan orang tua? Siapa yang ngajarin?"

Raya diam, air mata kembali mengucur membasahi pipinya.

"Selama ini Mama udah salah memanjakan kamu. Mama pikir segala kasih sayang yang Mama kasih bisa membuat kamu mengerti caranya menghargai, tapi ternyata Mama salah. Mama gak belain Nasha atau siapapun. Mama berusaha melihat dari sisi benar dan salah yang masuk akal. Kamu memang udah salah, Ray. Makanya kamu harus meminta maaf. Belajarlah untuk menerima keadaan apapun, karena kehidupan tidak selamanya bisa berjalan sesuai kemauan kamu!"

Raya tak lagi berkutik. Dia hanya diam sambil menahan emosinya. Perkataan Bu Nida tak bisa masuk ke hatinya karena saat ini yang mendominasi perasaannya adalah rasa marah, benci, sedih, dan kecewa. Dia merasa semua orang sudah tidak peduli lagi padanya dan Nasha sudah berhasil mencuri segalanya darinya. Tanpa sepatah kata lagi gadis itu langsung memalingkan muka dan beranjak menjauh dengan langkah menghentak. Saat melintas di depan Nasha dia berhenti sejenak, dia menatap tajam gadis itu.

"Puas 'kan lo sekarang?" dia tersenyum sinis, tapi air mata juga jatuh dari matanya.

Nasha terpekur, hatinya bak di tusuk belati tajam, sangat sakit.

Setelah mengucapkan itu, Raya pergi menjauh dengan langkah cepat ke arah kamarnya.

"Raya!" Bu Nida memanggilnya berkali-kali, namun gadis itu tak menghiraukan dan tetap melangkah sampai akhirnya dia masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu keras pintu itu hingga mengeluarkan bunyi yang nyaring.

Bu Nida langsung beristigfar, dia terduduk kembali dengan tangan yang naik memegangi kepala. Pak Irwan mengelus pundak istrinya hingga kepala wanita itu tersandar dibahunya.

"Raya, Pah ... kenapa dia jadi keras kepala seperti itu? Mama udah salah mendidik dia ... Mama merasa gagal jadi ibu ...." Kini giliran Bu Nida yang meneteskan air matanya.

Daniel menatap Nasha yang terpekur dalam diamnya. "Sha, lo ke kamar aja," ujarnya.

Gadis itu mengangguk lemah dan langsung melenggang pergi dengan langkah lemasnya.

***

"Aku benci Nasha! Aku benci! Benci! Benci!" Raya terus menggerutu sambil memaki-maki Nasha di dalam kamarnya. Tangisnya tak kunjung reda karena emosinya yang masih teramat meradang.

Bi Maimun yang tengah lewat di depan kamar gadis itu mendengar suara tangisan Raya yang mencekat dari dalam kamar. Dia mendekatkan telinganya pada pintu kamar. Suara tangis itu semakin jelas terdengar, hati Bi Maimun ikut tersayat mendengarnya. Bi Maimun tak tega melihat Raya sesedih itu, Raya sudah dianggap seperti anak sendiri karena sedari Raya kecil Bi Maimun sudah bekerja di keluarga ini, dan Raya sudah sangat akrab dengannya.

Tok tok

"Non Raya," panggil Bi Maimun setelah mengetuk pintu.

Tak ada sahutan, hanya isak tangis yang masih terdengar. Bi Maimun mencoba mengetuk pintu itu lagi. "Non?" panggilnya.

"Bibi gak usah kesini! Raya pengin sendiri! Raya gak mau dengar ada yang belain Nasha lagi!" Suara gadis itu tegas, namun masih nampak getaran akibat tangisnya. Bi Maimun semakin merasa tidak tega.

Life Is Boring (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang