15. Dion

300 57 1
                                    

"Mah, Raya pulang." Terdengar suara Kak Raya dari arah luar.

Aku yang tengah sibuk menyapu lantai pun spontan menoleh kearah pintu, gadis itu datang bersama kakaknya.

"Mah?" panggilnya lagi.

"Tante lagi dikamar, masih istirahat," ucapku yang tengah berdiri dengan segagang sapu didepan pintu kamar Tante Nida. Tante Nida memang belum pulih sepenuhnya kendati keadaannya sudah lebih baik dari kemarin.

Kak Raya hanya menatapku dengan datar sebelum dia melangkah menuju kamar sang mama. Kak Daniel pun juga melakukan hal yang sama. Aku berdesis sebal dengan tingkah mereka yang seperti itu. Enak sekali mereka meninggalkan Tante Nida yang sedang sakit sendirian dirumah untuk bersenang-senang diluar sana, lalu hanya menanyai keadaannya Tante Nida yang sudah membaik ini setelah pulang, tak tau saja mereka kalau tadi malam beberapa kali saat aku mengecek Tante Nida di kamarnya dia begitu menggigil dengan badan nya yang panas. Saat kuberikan kompresan dan ku selimuti lagi badan nya, Tante Nida terlihat lebih tenang. Beberapa kali hal itu aku lakukan tadi malam, rasanya aku tidak tenang melihat kondisi Tante Nida yang sakit seperti itu, takut terjadi apa-apa dan malah aku juga yang nantinya disalahkan oleh Kak Daniel atau Kak Raya.

Yang membuatku merasa bersedih, Tante Nida masih tetap bersikap dingin padaku, mengucapkan terima kasih pun juga tidak. Kalau saja aku tega membiarkannya yang sedang sakit menderita sendirian, tentu aku tidak ingin membantu, apalagi selama ini Tante Nida juga tidak pernah bersikap manis padaku. Tapi kata-kata almarhumah mama selalu terngiang di kepalaku.

"Teruslah berbuat baik, sekalipun kepada orang yang tidak baik kepadamu."

Aku menghela napas, rasanya sulit sekali untuk ikhlas membantu orang yang tidak pernah baik kepadaku, apalagi ketika kebaikanku dibalas dengan segala hal yang tidak ku sukai. Bolehkah aku merasa bosan untuk berbuat kebaikan pada mereka?

***

Drrrtt

Saat aku tengah mengenakan hijabku, tiba-tiba ponselku bergetar diatas meja. Hijab yang ku gunakan sekarang Alhamdulillah sudah lebih lebar dari sebelumnya, kata-kata Manda benar, saat hijab lebih lebar dan lebih menutupi, maka akan merasa lebih aman, apalagi setelah mimpi burukku tentang Kak Arga kemarin, membuatku ingin benar-benar lebih menutup aurat dan menjaga diri lebih baik.

"Halo, Pah, Assalamualaikum," ucapku saat panggilan itu ku angkat.

"Wa'alaikumussalam. Sudah mau berangkat kah?" tanya suara diseberang sana.

"Iya, Pah, ini sudah mau berangkat," jawabku.

"Oke, nanti sama Daniel dan Raya 'kan berangkatnya?"

"Kemungkinan enggak, Pah."

"Loh? Kenapa enggak? Mereka gak mau, ya? Biar Papa tegur-"

"Enggak usah, Pah," potongku cepat. "Nasha mohon sama Papah jangan terlalu keras, ya sama mereka. Nasha gakpapa kok, Pah, kalau mereka masih belum bisa nerima Nasha, Nasha bisa maklumin. Kalau Papa terlalu keras sama mereka, yang ada nanti mereka semakin benci sama Nasha, Pah. Papah tolong ngertiin Nasha, ya, Pah?" pintaku memohon.

Jujur, aku memang merasa lebih baik sendiri dari pada bersama tapi hanya diketusi.

Untuk beberapa saat tidak ada sahutan dari Papa.

"Pah?" panggilku menunggu jawaban darinya.

"Baik, Papa mengerti. Maaf, ya, untuk segala sikap mereka, maafin Papa juga gak bisa temenin kamu." suara Papa terdengar parau.

"Pah, Nasha baik-baik aja, Papa gak usah minta maaf begitu, Papa gak salah apa-apa, kok. Papa disana gimana kabarnya? Baik-baik aja 'kan? Urusannya lancar?" Aku mengalihkan topik pembicaraan.

Life Is Boring (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang