11. Jemputan

2K 331 8
                                    



Seorang wanita paruh baya dengan high heels tinggi berjalan mondar-mandir di depan gerbang sekolahan. Penampilannya yang glamor cukup menyita perhatian para siswa yang kini tengah beranjak pulang.

Ditatap sedemikian rupa membuat wanita paruh baya itu lama-lama jadi risih sendiri, sungguh kalau bukan karena keponakannya dia juga tidak mau bertindak seperti penjaga gerbang sekolahan.

“Mama?”

Pandangan Tante Maricha langsung tertuju pada pemilik suara yang terasa familier di gendang telinganya. Dengan segera dia menaikkan kacamata hitamnya dan menyampirkannya di atas kepala.

“Anya. Kamu udah pulang? Sesil mana?”

“Ada kok Ma, di belakang.” Anya menunjuk arah belakang dengan ibu jarinya.

“Kok kalian gak bareng?” tanya Tante Maricha lagi.

“Gak setiap waktu juga kita bareng-bareng Ma. Ya kali Sesil kebelet boker Anya ikutin.”

Wanita paruh baya itu menghela napas kasar. Beliau menatap jam tangannya lalu kembali menengok lingkungan sekolahan yang semakin lama semakin sepi.

“Mau bujuk Sesil lagi biar pulang ke rumah nih ceritanya?” tebak Anya, “kagak bakal mempan Ma, Anya udah pernah sampai bertekuk lutut di hadapan itu anak. Tetep aja dia gak mau.”

“Emang kamu nya yang gak becus. Sini-sini,” Tante Maricha merangkul bahu Anya. “Mama sekarang lagi pegang kartu As Sesil.”

Kening Anya berkerut, “Kartu As apaan Ma?”

“Sesil ternyata masih menyimpan foto––“

“Oh... Foto. Kalau itu mah Anya udah tau dari lama,” kata Anya menyelak omongan Mamanya.

“Kamu udah tau?”

Gadis itu mengangguk santai, “Aku dan Bella kan sering main ke Apartemen Sesil.”

“BELLA?!”

Anya mengusap telinganya yang berdengung “Ish... Mama apa-apaan sih pakek teriak segala.”

Tante Maricha mencubit lengan Anya, membuat gadis itu mengaduh sakit, “Memasang foto itu saja udah termasuk larangan Anya! Gak ada yang boleh tau. Lah ini kamu malah ngajak Bella segala ke Apartemen Sesil. Bella itu orang luar!” bentaknya emosi.

“Aduh duh duh... Iya Ma, sakit. Lepasin dulu,”

Wanita paruh baya itu melepas cubitannya. Beliau mempersilahkan putri bandelnya itu untuk membela diri. Walaupun terkadang Anya bisa diandalkan, nyatanya tak sepenuhnya kinerjanya bisa di cap sempurna.

“Bella itu kan orangnya pendiem Ma. Gak mungkin sampai koar-koar. Paling tuh anak juga gak tau siapa orang dalam foto,” kata Anya seraya mengerucutkan bibir.

Tante Maricha berdecak kesal. Dia sudah dibuat emosi dengan sifat keras kepala Sesil, kini putrinya malah menambahi beban pikirannya dengan kabar yang baru saja dia dengar. Rasa-rasanya wanita paruh baya itu ingin membagi beban dengan Adi Wijaya, suaminya.

“Tante ngapain ke sini?”

Tante Maricha dan Anya menoleh. Akhirnya orang yang ditunggu-tunggu menampakkan diri juga.

*****

Sesil menghela napas panjang menatap rumah megah di depannya. Sekeras mungkin dia berusaha enyah dari sana tetap saja dia bisa kembali lagi.

Semua itu ulah Tante Maricha yang sedari awal sudah menginginkan agar dia kembali ke rumah tersebut. Apalagi beliau kini memegang kartu As Sesil, jadi jangan heran kalau gadis itu berubah jadi kucing penurut sekarang.

"Ayo masuk." Tante Maricha merangkul bahu Sesil dan menggiringnya masuk ke dalam rumah, didampingi Anya yang sudah fokus dengan ponsel.

"Tante pasti bohong soal Om yang kangen sama aku," tuding Sesil.

Tante Maricha memutar bola matanya malas, "Beneran sayang. Om kamu tadi telepon Tante bilang kalau dia mau ke Apartemen kamu. Kangen sama keponakannya, katanya."

Sesil mengerucutkan bibir. Pandangannya beralih pada Anya lalu menyenggol bahunya.

“Apaan? Yang dibilang Mama itu bener. Gue gak lagi main strategi apapun, sumpah dah.” Anya mengangkat dua jarinya.

Pintu utama terbuka. Tiga perempuan tersebut memasuki rumah tanpa segan. Sesil menelusuri setiap jengkal ruangan. Masih sama seperti terakhir kali dirinya menginjakkan kaki di sana.

Vas besar, ruang tamu dengan desain mewah, bahkan tirai-tirai tebal yang menggelantung berdampingan dengan jendela. Semua masih sama.

Tante Maricha dan Sesil berbelok ke arah lain, sedangkan Anya langsung melenggang ke kamarnya tidak mau mencampuri urusan Sesil dengan kedua orang tuannya.

Langkah mereka terhenti di sebuah kolam renang belakang rumah. Dengan desain mewah dan bentuk taman yang menyegarkan mata. Itu adalah tempat favorit Om Adi Wijaya, Om-nya Sesil, atau bisa disebut juga Papanya Anya.

"Keponakan Om sudah datang rupanya," kata Om Adi seolah terkejut.

Sesil menjabat dan mencium punggung tangan Om-nya, "Om apa kabar?"

"Baik sayang, baik." Pria paruh baya itu menegakkan tubuhnya.

"Tante gak harus mempersilahkan kamu duduk kan? Kamu bukan tamu di sini, kamu keluarga," sarkas Tante Maricha.

Sesil tersenyum tipis. Dia mendaratkan pantatnya di kursi sebelah Om Adi, sedangkan Tante Maricha duduk di kursi yang berada di sampingnya.

"Ma. Kamu kenapa sih? Papa lihat-lihat kok kayak perawan lagi PMS," kata Om Adi lembut.

Tante Maricha menghela napas panjang, "Gak kenapa-kenapa Pa. Tadi Mama cari Sesil di sekolahan susah jadinya kebawa emosi sampai sekarang." Bohongnya.

Sebenarnya wanita paruh baya itu sudah ingin berteriak mengadu pada suaminya apa yang sebenarnya terjadi, tapi sayangnya dia sudah berjanji. Jadi semuanya harus dia pendam sendiri.

“Maafin Sesil ya, Tante? Tadi Sesil ke toilet dulu.”

Sekali lagi Tante Maricha menghela napas panjang. Beliau mengusap rambut Sesil seraya tersenyum, memaafkan keponakannya yang sebenarnya dari awal memang tidak salah, dengan garis bawah alasan ke toilet maksudnya.

Yang salah adalah dirinya. Beliau tidak mengabari Sesil terlebih dahulu kalau akan datang ke sekolah untuk menjemputnya. Awalnya Tante Maricha berencana membuat surprise itu tapi malah dirinya sendiri yang kena jebakan.

“Om mau bicara sesuatu sama kamu,” kata pria paruh baya itu mulai serius.

“Sesil mau belajar mandiri Om,” jawab Sesil seolah tahu apa yang akan dibicarakan Om Adi Wijaya.

Mendengar penuturan keponakannya membuat pria paruh baya itu menghela napas panjang, “Nak. Kenapa tidak tinggal di sini saja. Kalau di Apartemen kamu kenapa-kenapa bagaimana? Kami akan merasa gagal karena tidak bisa menjaga kamu.”

Sesil menunduk sambil memainkan jemarinya sendiri, “Sesil gak mau terus-terusan jadi beban buat Om dan Tante.”

“Justru dengan kamu tinggal di Apartemen sendirian itu yang jadi beban buat kami,” sarkas Tante Maricha ikut nimbrung.

Sesil terdiam. Pandangannya kembali terarah pada Om Adi Wijaya saat tangan besar itu menepuk puncak kepalanya, “Almarhumah Mama kamu sudah menitipkan kamu sama Om. Kamu tanggung jawab kami sekarang, keluarga ini tidak pernah merasa terbebani dengan kehadiran kamu, Sayang.”

“Mama akan bangga kalau Sesil bisa berdiri sendiri,” kata Sesil kukuh.

Pasangan paruh baya itu saling pandang seperti berargumen melalui batin. Sesil mengerutkan kening saat mereka saling menganggukkan kepala lalu menatapnya serius.

“Oke. Om tidak akan memaksamu lagi mulai sekarang. Tapi dengan satu syarat.”








________________

Bersambung....


Author: Terimakasih sudah baca 😊

My ChikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang