2. Tendangan maut

6.6K 583 7
                                    


“Lo di mana?!”

Seorang gadis yang tengah mencuci tangan memutar bola matanya malas, “Gue di toilet, Anya.”

“Ini udah jam berapa?! Astaga!”

Sesil menatap ponselnya yang dia taruh di pinggiran wastafel, dia menghela napas. Akibat bangun kesiangan dia jadi bingung sendiri, mana Anya yang tidak lain sepupu yang merangkap peran sebagai temannya itu ikutan menambah kepanikannya.

“Sesil! Gue bicara sama lo!” Sesil tak menyahut. Dia memilih menata rambutnya yang sedikit berantakan karena diterpa angin.

“Di tungguin Pak Teguh, nih.”

“Ck! Cerewet!” Akhirnya Sesil memutus sambungan telepon lalu memasukkan benda pipih itu ke dalam saku celana olahraganya.

Gadis itu melangkah meninggalkan toilet. Tak dapat dipungkiri dia pun sebenarnya takut dengan Pak Teguh, guru yang penuh kedisiplinan itu sangat suka menghukum murid yang tak disiplin.

“Kenapa mainnya kayak gitu?” Kaki Sesil terus melangkah, sedangkan kepalanya menoleh ke samping menonton teman-temannya yang tengah bermain sepak bola di lapangan.

Strateginya sangat berantakan. Tidak ada yang berpencar, mereka malah berkerumun mengejar bola yang menggelinding. Lebih parahnya lagi Pak Teguh hanya diam tak mengarahkan. Beliau menikmati hiburan ketidakmampuan para siswi dalam bermain sepak bola didampingi para anak laki-laki.

Tawa mereka terhenti saat sepasang kaki berdiri tepat di depan Pak Teguh. Pria paruh baya itu berdeham lalu menegakkan tubuh, melipat tangannya di depan dada menunggu orang di depannya bersuara.

“Maaf, Pak, saya telat,” ujar Sesil.

“Bapak paling tidak suka dengan anak yang tidak disiplin.” Sesil menunduk merasa bersalah. “Tapi karena ini adalah pertama kalinya kamu telat maka Bapak maafkan. Silakan bergabung dengan teman-temanmu.”

Gadis itu mendongak. Senyuman terpancar di wajahnya, “Terima kasih, Pak.”

Dia langsung berlari dan bergabung dengan teman-temannya. Pak Teguh tertawa kecil, sebenarnya meloloskan Sesil tidak ada kaitannya dengan pelajaran. Dia hanya menganggapnya sebagai hiburan, di mana para siswi itu semakin komplit dan tentunya kocak saat memainkan permainan sepakbola.

Pak Teguh mengerutkan kening kala Sesil tidak mengambil posisi berkerumun seperti teman-temannya. Dia malah berdiri menyendiri jauh dari mereka. Pria paruh baya itu sudah hampir berteriak, tapi hal itu urung dilakukan saat matanya menangkap hal apa yang dilakukan muridnya.

Bola melambung tinggi dan melesat jauh dari kerumunan. Dengan gesit Sesil menangkap dengan dadanya, membuat bola jatuh tepat di depan kakinya. Dia menginjak bola tersebut agar diam lalu mundur beberapa langkah sebelum kembali maju dan menendang bola cukup keras.

Bola melesat cepat melewati siswi-siswi yang tampak takut terkena timpuk, terus melesat sampai masuk ke dalam gawang dan berhenti saat menyentuh jaring.

Refleks Pak Teguh dan para siswa laki-laki berdiri mematung. Terdengar sorak senang dari tim Sesil. Mereka loncat-loncat kegirangan dan berlari menghampiri Sesil untuk diberi pelukan.

“Bener-bener cewek idaman.” Galuh menggeleng kagum.

“Ho’oh. Mana ramah lagi.”

“Murah senyum juga.”

“Yang paling utama, dia pinter.”

“Gak pilih-pilih teman.”

“Cantik dan gak bar-bar.”

My ChikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang