34. Akhir penantian

1.1K 186 7
                                    

"Hallo epribadeh!"

Bagas memasuki ruang inap Chiko dengan gaya cool nya. Hari ini dia merasa paling tampan diantara orang-orang yang ada di ruangan bernuansa putih itu. Dia tidak mau tahu mereka semua harus menganggapnya tampan hari ini.

"Gue tampan gak?" Bagas menaik turunkan alisnya.

Chiko, Alex, Revan, dan Tito memutar bola mata malas. Sedangkan tiga cewek di sana memicingkan mata mengamati Bagas dari atas sampai bawah.

"Perasaan masih sama kayak kemarin-kemarin," jawab Lily teman sekelasnya yang ikut menjenguk Chiko.

"Kemarin gue itu ganteng, kalau sekarang gue ganteng banget. Cekrek! Cekrek!" Bagas membingkai wajahnya sendiri lalu bergaya seolah berhadapan dengan kamera.

"Pantat panci rumah gue lebih ganteng dari muka lo," tukas Alex mencium pelipis pacarnya yang duduk di sampingnya.

Bagas melengos tidak suka. Ada saja jawaban Alex yang bikin sakit hati. Rasa-rasanya dia ingin memotong lidah cowok itu.

Semua orang di sana tertawa mengejek Bagas. Beruntung tidak ada suster ataupun dokter di dalam sana. Jika mereka ketahuan membuat kegaduhan mereka harus siap-siap ditendang dari rumah sakit oleh satpam.

"Sini, duduk lo. Gue tahu kalau lo butuh suntikan makanan gratis," kata Chiko menyuruh Bagas mendekat.

Bagas meringis memperlihatkan rentetan gigi putihnya, "Tahu aja lo."

"Tapi kali ini gratisannya harus spesial, soalnya gue ada kado spesial juga buat lo."

Revan memicingkan mata menatap Bagas, "Tumben amat lo bawa-bawa kado segala? Kagak percaya gue."

"Eeeh... Gini-gini gue peduli kawan ya." Bagas mengangkat kerah bajunya.

"Tapi minta imbalan. Ya sama aja," kata Tito membuat Bagas menunjukkan cengirannya lagi.

"Kak."

Suatu suara dari balik pintu membuat pandangan Chiko reflek teralih. Dia merasa tidak asing dengan suara itu, dan dia sangat yakin itu bukan suara orang-orang yang ada di dalam kamar inapnya.

"Heh...! Belum waktunya lo masuk," bisik Bagas menoleh ke balik pintu, mendorong seseorang agar tak menampakkan diri dihadapan banyak orang.

"Siapa, Gas?" tanya Chiko penasaran.

Bagas tak langsung menjawab. Dia menampilkan senyuman mengejek untuk membuat Chiko emosi.

Chiko berdecak, "Si semprul!"

"Hayo siapa?" ejek Bagas.

"Kasih tahu aja lah, Gas. Itu nanti Chiko bunuh diri saking keselnya baru nyesel lo entar," Tito menunjuk Chiko dengan dagunya.

"Tunggu dulu. Janji harus kasih gratisan spesial dong."

Chiko sudah tidak memiliki stok kesabaran, "Sesil! Sini masuk. Calon imam udah mau meninggal ini." teriak Chiko yakin kalau orang di balik pintu itu adalah Sesil.

"Kak Chiko?!" Mendengar penuturan Chiko mau tidak mau Sesil akhirnya keluar juga dari tempat persembunyian.

Dia sudah cukup khawatir selama beberapa hari, lalu bagaimana dia bisa tetap diam saat telinganya mendengar suara Chiko terasa amat jelas? Belum lagi cowok itu membawa kata meninggal pula.

Wajah Chiko langsung sumringah mendapati dugaannya benar. Dengan terburu-buru cowok itu mencoba menghampiri tunangannya. Namun saking senangnya dia sampai lupa dengan infus yang melekat di punggung tangannya.

"Eeeh...!" Semua orang di sana berteriak histeris saat penyangga infus oleng dan hampir jatuh. Untung dengan sigap Alex menahannya, sedangkan Revan mendorong tubuh Chiko membuatnya kembali duduk di atas brankar.

My ChikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang