Sesil menoleh ke kiri dan ke kanan melihat betapa ramainya orang-orang yang berlalu lalang di sebuah pasar. Tangannya digenggam Anya, ditarik ke sana kemari agar dia tidak hilang saking banyaknya orang di sana.
"Lo cari apa sih, Bel, sebenarnya?" tanya Anya sedikit gemas.
Bagaimana tidak gemas? Mereka sudah berputar-putar keliling pasar, bersenggolan dengan banyak orang, bahkan sumpah serapah juga mereka dengar terlontar dari beberapa mulut saat sedang melakukan transaksi jual beli.
Telinga Anya terasa panas jadinya. Padahal dia sudah mengatakan pada Bella kalau supermarket lebih nyaman disinggahi. Tidak akan ada yang namanya proses tawar menawar hingga terjadi adu bacot, tempat bersih dan nyaman, belum lagi penjualnya yang pasti ramah dan santun. Tapi Bella tetap saja kukuh ingin ke pasar saja.
"Ini tinggal beli sawi doang," ucap Bella mencari penjual sayuran.
"Tadi kita udah lewatin penjual sayuran," kata Sesil menunjuk ke arah belakang.
Ketiganya terdiam sejenak saat melewati segerombolan orang yang berjalan lawan arah. Saking sempitnya jalan mereka sampai harus mencari celah untuk lewat.
"Ampun dah, gak lagi-lagi gue ke pasar." Anya mengusap dadanya mencoba sabar.
Mereka berhenti disebuah warung yang menjual berbagai jenis sayuran. Sesil masih saja mengedarkan pandangan menikmati keramaian pasar, sedangkan Anya sudah mengipasi wajah dengan tangannya.
"Yang tadi itu mahal-mahal, Sil. Kalau ini agak murah," ucap Bella menjawab perkataan Sesil tadi.
Sesil hanya mengangguk saja tanpa banyak protes. Dia sadar diri kemarin-kemarin sudah merepotkan Bella dan Anya untuk mencari keberadaan Chiko, jadi kali ini dia akan mengikuti keinginan mereka berdua.
"Pak, sawi nya satu, Pak," kata Bella.
"Sebentar ya Neng, sabar." Pria paruh baya itu tampak kelimpungan sendiri saking banyaknya pelanggan yang minta didahulukan.
Anya berdecak kesal membuat Sesil terkekeh lalu mengusap bahu sepupunya itu lembut.
"Sabar. Nanti setelah apa pun yang diinginkan Bella terpenuhi, giliran lo deh," ucap Sesil menenangkan.
"Beneran ya?" Sesil mengangguk, "Gue nanti ingin kita ke restauran mahal buat manjain perut. Itu yang disebut 'istirahat', bukan malah pergi ke pasar beli sembako kayak Bella."
Sesil mengangguk seraya tertawa. Memang terasa aneh juga baginya saat mengetahui istilah istirahat bagi Bella adalah berbelanja kebutuhan pokok di pasar.
Apa mungkin itu sama dengan shopping versi Anya? Entahlah, yang jelas tugas Sesil hari ini hanya mengikuti kemana pun mereka mau.
"Kayak kenal," gumam Sesil mengerutkan dahi saat matanya tanpa sengaja menemukan sosok familier yang tengah membeli ayam potong tak jauh dari tempatnya berdiri.
Dia berjalan meninggalkan Anya yang masih saja menggerutu. Langkah kakinya membawa dia ke seorang wanita paruh baya yang tengah berbicara dengan penjual ayam potong.
"Bu Marni?"
Merasa namanya di panggil wanita paruh baya itu pun menoleh ke samping. Manik matanya langsung bertubrukan dengan manik mata Sesil yang kini tengah menampilkan senyum manisnya.
"Bu Marni kan? Yang jual bubur ayam?" tebak Sesil.
Bu Marni mengalihkan pandangannya dari Sesil. Dia tampak buru-buru mengambil pesanannya dan membayar dengan kontan sebelum melenggang pergi tanpa mengucapkan apa pun pada Sesil.
"Lah? Bu! Uangnya kebanyakan," teriak penjual ayam potong melambaikan tangan.
Terlihat Bu Marni tidak merespons teriakan itu. Beliau terus saja berjalan, tenggelam dalam banyaknya kerumunan di pasar.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Chiko
Mystery / ThrillerNaksir cewek ✓ Langsung tunangan ✓ Cinta tak bertepuk sebelah tangan ✓ Sesimpel itu kisah cinta seorang Chiko Dava Pratama. Mendapatkan Sesil adalah sebuah kebanggaan yang patut dia sombongkan. Gadis itu bagaikan bidadari. Cantik wajah, cantik hati...