48. Lima tahun yang lalu

898 103 9
                                    


Dengan mata yang tinggal lima watt seorang pedagang membawa dua piring nasi goreng pada pelanggan terakhirnya. Gerutuan dalam hati tak pernah berhenti, memberikan sumpah serapah pada pelanggan yang memesan makanan saat sudah hampir tengah malam.

"Silahkan."

"Ini kalau kagak kurang bumbu berarti keasinan," tebak Chiko.

Pedagang yang masih tergolong muda tersebut menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Kayaknya sih sudah pas, Mas."

"Alah..."

"Monggo dicoba dulu." Pedagang itu memiringkan jempolnya ke arah makanan.

"Itu wajah sampai kayak pulau Nusantara gara-gara iler masih aja yakin masakannya enak."

"Kak..." Sesil memegang pergelangan tangan Chiko. "Kami mau makan, Mas." Pandangannya beralih ke arah pedagang.

Akhirnya pedagang itu mengangguk tanpa berniat melanjutkan adu mulut dengan Chiko. Dia menguap, berjalan gontai menuju kiosnya sendiri untuk melanjutkan sesi tidurnya yang terganggu.

"Dari pada gak niat jualan mendingan tutup warung aja." Omel Chiko yang mendapatkan usapan di bahu oleh Sesil.

Sangat menyebalkan ketika kantin rumah sakit yang sudah tertera poster buka dua puluh empat jam tapi pelayanannya tak cukup memuaskan. Buat apa mereka begadang kalau pada akhirnya hanya memberikan kesan buruk.

Ingin rasanya Chiko masuk ke kios itu sendiri dan memasak nasi goreng spesial untuk Sesil. Tapi kalau mengingat dirinya tak bisa memasak, masakan pedagang tadi tidak buruk-buruk amat.

"Kak Chiko ngapain di sini?" tanya Sesil setelah menyuapkan sesendok nasi goreng ke dalam mulut.

"Tito sakit," jawab Chiko singkat.

Untuk sesaat Sesil menghentikan aktivitas. Melihat hal itu Chiko lantas mengerutkan keningnya menatap Sesil penuh curiga.

"Kenapa?"

Sesil menggeleng, "Kayaknya kemarin masih sehat."

"Sakitnya gara-gara dihajar jadi sakit mendadak." Meskipun hatinya masih janggal dengan tingkah laku Sesil tapi Chiko tetap menjawab setiap pertanyaannya.

"Siapa yang menghajar?"

Chiko tersedak. Dia meminum minumannya tergesa sebelum akhirnya nafsu makannya hilang seketika.

"Kamu ngapain ke rumah sakit malam-malam? Mana sendirian lagi," tanya Chiko mengalihkan pembicaraan.

"Memang mau sama siapa lagi? Kak Chiko aja gak bisa dihubungi." Sesil mengangkat kedua bahunya. "Mau minta anterin sama Anya juga percuma, yang ada dia dan keluarganya gak bakal bolehin aku keluar."

Chiko menggaruk pipinya yang tidak gatal. Mau membela diri tak mungkin bisa. Dari segi manapun dia tetap yang salah, mana masih banyak hal yang dia tutupi dari Sesil lagi.

"Aku tiba-tiba kepikiran sama mendiang Mama," kata Sesil kemudian.

Chiko menatap manik mata Sesil yang berubah sayu. Untuk kali ini dia tak akan memotong pembicaraan.

"Semenjak Kak Chiko sakit dulu dan di rawat di kamar yang sama dimana Mama meninggal otak aku jadi berpikir keras."

"Apa yang kamu pikirin?"

Sesil menampilkan senyum getir, "Tentang kematian Mama."

Chiko terdiam.

"Katanya Mama meninggal karena penyakit mag. Tapi rasanya kayak gak mungkin karena Mama selalu jaga kesehatan dan makan teratur."

My ChikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang