"Tiga puluh ribu ditambah empat puluh ribu sama dengan seratus ribu."Revan menjitak kepala Bagas keras, "Kalkulator dari mana tuh?!"
Bagas mengusap kepalanya yang berdenyut nyeri, "Gak usah mukul kepala bisa gak sih Van?! Kalau gue goblok mau tanggung jawab lo?!"
Alex mengambil ponsel dalam sakunya lalu masuk ke dalam aplikasi game, "Orang dari orok juga udah goblok, pakek nyalahin orang," katanya tanpa melihat Bagas.
Dua lawan satu. Kini pandangan Bagas menatap sengit pada Revan dan Alex.
"To. Lo belain gue kan?" Mata Bagas beralih pada Tito yang tidak ikut nimbrung karena fokus dengan game di ponselnya.
"Iya Gas," ucap Tito sekenanya.
Wajah cowok itu langsung sumringah, "Beneran?"
"Iya, Gas."
"Mereka yang salah, kan?" tanya Bagas lagi.
"Iya, Gas."
"Tiga puluh ribu tambah empat puluh ribu jadi seratus ribu, kan?"
"Iya, Gas."
Tatapan Bagas kembali terarah pada Revan dan Alex yang menghela napas panjang. Dagunya terangkat sombong setelah mendapatkan dukungan dari Tito. Padahal yang sebenarnya terjadi Tito sedang malas berdebat dengan Bagas. Di 'iya' kan saja biar cepat selesai.
"Noh, liat kan? Tito aja ngakuin kalau gue bener. Lo pada aja yang sok pintar," tukas Bagas.
"Ck! Nih seratus ribu." Revan memberikan selembar uang warna merah pada cowok itu.
Jika saingannya adalah Bagas, maka mengalah adalah jalan terbaik yang harus diambil. Cowok itu tidak akan pernah menyerah kalau masalah materi. Nanti Revan malah kelihatan tak ada bedanya dengan Bagas kalau meladeni keserakahannya.
Koridor sekolahan sudah mulai sepi, hanya ada beberapa siswa yang berlalu lalang. Bahkan keramaian yang mendominasi hanya berasal dari empat cowok yang kini sedang nongkrong di pinggir koridor kelas. Benar, hanya empat cowok, karena yang satunya lagi seperti kehilangan separuh jiwanya.
Chiko berulang kali menatap jam yang melekat di lengannya lalu beralih menatap lorong-lorong sekolahan. Dia membuang napas kasar dan berdecak, membuat teman-temannya yang ada di sana jadi ikut geregetan karenanya.
"Samperin! Risih gue lama-lama lihat lo begini," tukas Revan.
"Iya, bener. Gak pernah serius tertarik sama cewek, sekalinya tertarik malah kayak ikan kekurangan air," sambung Tito.
Chiko mengacak rambutnya frustrasi. Tertarik? Apakah gelagatnya nampak seperti orang yang tertarik dengan lawan jenis? Ternyata rasanya begitu menyiksa. Dia jadi malu pernah meremehkan kegelisahan Alex dan Revan saat memikirkan pacar mereka. Sekarang dia malah mengalaminya sendiri.
"Apa gue samperin aja ya?" Chiko mengusap dagunya.
"lah, monyet! Tadi gue kan udah bilang begitu," sarkas Revan.
Chiko tidak mengindahkan perkataan Revan. Cowok itu memilih melipat lengan seragamnya lebih tinggi sampai memperlihatkan otot-ototnya, lalu menyampirkan ransel hitamnya disalah satu pundak.
Kepala Chiko bergerak memandang Alex yang kini sudah terfokus pada ponsel setelah tadi berdebat dengan Bagas. "Lex. Eva apa kabar?"
Pertanyaan itu sukses membuat empat cowok di sana menoleh. Revan, Bagas, dan Tito mengumpat dalam hati. Memaki otak kopong Chiko yang berani menanyakan hal se-sensitif itu pada Alex. Sudah tau cowok tersebut sangat gampang terpancing emosi, Chiko malah tambah memanasinya agar meledak sekalian.

KAMU SEDANG MEMBACA
My Chiko
Misterio / SuspensoNaksir cewek ✓ Langsung tunangan ✓ Cinta tak bertepuk sebelah tangan ✓ Sesimpel itu kisah cinta seorang Chiko Dava Pratama. Mendapatkan Sesil adalah sebuah kebanggaan yang patut dia sombongkan. Gadis itu bagaikan bidadari. Cantik wajah, cantik hati...