14. Bubur ayam 2

2.4K 371 72
                                        

 *****

Pagi yang cerah. Semua orang sangat menyukai cuaca seperti ini. Segala aktivitas bisa berjalan dengan lancar tanpa kendala.

Sama halnya dengan seorang cowok yang tengah mengayuh sepeda di trotoar jalan. Senyumnya terus mengembang tanpa dia tahu bagaimana cara menghentikannya.

Akibat hal itu kini dia jadi pusat perhatian banyak orang sepanjang jalan, seakan-akan ini adalah pertama kali mereka melihat orang gila.

“Kak, tempatnya masih jauh?” tanya Sesil.

“Enggak kok. Udah mau sampai.”

Inilah alasan Chiko tidak bisa menghentikan senyumannya. Sentuhan di pundaknya seperti aliran listrik yang menyetrum sampai ke hati.

Dia dan Sesil berada di satu sepeda yang sama, dia di depan sedangkan Sesil membonceng di belakang dengan posisi berdiri dan menggunakan pundaknya sebagai pegangan.

“Capek nggak?” tanya Sesil lagi.

Gadis itu merasa tidak enak dengan Chiko karena memboncengkannya sepeda dengan jarak yang lumayan jauh.

“Capek.”

“Berhenti dulu kalau gitu.” Sesil menepuk bahu Chiko.

“Capek tersenyum maksudnya.”

Gadis itu mengerutkan kening tidak paham, “Maksudnya?”

Chiko menggeleng sebagai jawaban.

Di hari pertama dengan status bertunangan Chiko menjemput Sesil untuk pergi ke sekolah bersama menggunakan sepeda.

Otak cemerlangnya memang sudah bekerja sejak semalam, merangkai hal romantis apa saja yang akan dirinya lakukan dengan tunangannya.

Mengingat kata tunangan membuat Chiko kembali melebarkan senyumannya. Dia sangat tidak menyangka hal ini terjadi padanya. Ternyata Tuhan mempertemukannya dengan jodoh semudah itu.

“Atau kita cari warung makan lain aja gimana Kak? Yang deket-deket,” usul gadis itu.

“Bubur ayam yang itu juga udah deket kok.”

Sesil menghela napas panjang. Di pagi buta Chiko sudah meneleponnya mengucapkan selamat pagi, dengan taburan kata ‘tunangan’.

Dia menyuruhnya segera mandi dan mempersiapkan keperluan sekolah. Cowok itu ingin mengajaknya sarapan bersama di warung bubur ayam favoritnya katanya.

Namun Sesil tidak menyangka kalau Chiko akan membawa sepeda sebagai kendaraannya. Sekarang dia merasa tidak enak karena cowok itu jadi menanggung beban tubuhnya juga untuk mengayuh sepeda.

“Sudah sampai.” Chiko menghentikan sepedanya di pinggir jalan.

Sesil turun dengan hati-hati. Dia menatap warung kecil dengan spanduk bertuliskan ‘Bubur Ayam Bu Marni’ sekilas, sebelum mengeratkan pegangannya dengan tas ransel lalu menatap Chiko.

“Yuk! Masuk.” Cowok itu menggandeng tangan Sesil, membawanya masuk ke dalam warung yang sudah terdapat sekitar lima pelanggan di sana.

“Ibu!” teriak Chiko tidak tahu malu.

“Ya?” Wanita paruh baya yang tengah menuangkan teh hangat dalam gelas itu pun mendongak.

“Eh ada si kasep datang lagi. Yang lainnya mana?”

Chiko menarik kursi untuk Sesil. Saat sudah memastikan gadis itu duduk manis dia pun ikut duduk di sebelahnya, “Kali ini gak sama mereka Bu. Saya bawa tunangan saya.”

Sesil tersenyum pada Bu Marni sambil menundukkan kepala sekilas. Namun tidak lama setelah itu senyumannya memudar kala melihat ekspresi Bu Marni yang tampak tegang menatapnya.

Bu Marni menggeleng, “Kecil-kecil sudah punya tunangan saja.”

Gadis itu menghela napas lega, ternyata cuman perasaannya saja. Bu Marni kembali menunjukkan senyaman hangatnya. Mungkin beliau sempat melihat sesuatu di belakangnya tadi.

“Dari pada pacaran yang gak pasti, mending kan langsung tunangan Bu. Yang pasti-pasti,” ujar Chiko.

Dengan tangan yang mulai keriput Bu Marni menyuguhkan dua mangkuk bubur ayam di depan dua sejoli itu, “Nah suka nih sama pemuda yang seperti ini.”

“Makasih Bu.” Sesil menarik mangkuk lebih dekat.

Bu Marni hanya membalas dengan senyuman lalu melenggang pergi melayani pelanggan lain. Entah perasaannya saja atau gimana, Sesil merasa wanita paruh baya itu memberikan respons berbeda antara dirinya dan Chiko.

Apakah karena belum pernah beli bubur ayam di sana beliau jadi merasa asing dengan dirinya?

“Kak, Bu Marni sakit?”

Chiko mengerutkan kening, “Sakit? Kelihatannya sih sehat walafiat. Emang kenapa?”

Sesil menggeleng. Dia mulai memakan bubur ayamnya dengan tenang, mengabaikan pikiran buruk yang ditujukan untuk penjual bubur ayam tersebut.

Melihat tunangannya memakan bubur dengan lahap membuat perasaan Chiko lega. Dia mengira Sesil tidak akan suka jika dibawa ke warung kecil pinggir jalan, mengingat gadis itu adalah orang ber-ada.

Mereka memakan bubur ayam masing-masing, didampingi kerupuk berwarna oren khas andalan bubur ayam di daerah tersebut. Chiko meminum teh hangatnya lalu melirik Sesil yang masih tenang memakan bubur.

“Itu kenapa kucir rambut nangkring di sana sih? Elah! Kalau gini kan gue gak bisa modus nyelipin rambut dibelakang telinganya.” Batin Chiko.

Sesil berpenampilan sederhana. Dia menguncir rambutnya menjadi satu agak ke bawah dan tak begitu erat, tampak cantik tapi sayangnya tidak sesuai harapan Chiko. Karena sebelumnya cowok itu berpikir rambut Sesil akan digerai jadi dia bisa modus.

“Sesil.”

Gadis itu menoleh.

“Kenapa kamu terima perjodohan itu?” tanya Chiko.

Sesil mengulum senyum, “Kamu?”

Chiko berdeham, “Sebagai calon imam yang baik harus bisa mengajari calon makmum berkata dengan benar. Kan imam itu panutannya makmum.”

Gadis itu tertawa tapi tak urung mengangguk, “Iya-iya.”

“Jadi kenapa?” tanya Chiko lagi.

Sesil memakan kerupuknya, “Pilihan orang tua itu gak akan pernah salah. Mereka pasti memberikan yang terbaik untuk anaknya. Sama halnya tentang jodoh, Om Adi Wijaya dan Tante Maricha gak mungkin memberikan aku kepada orang yang salah.”

“Karena sakit hatinya orang tua tercipta saat anaknya menderita,” lanjutnya.

Chiko mengangguk, merasa kagum dengan penuturan jenius Sesil. Dia membenarkan posisi duduknya lalu menatap Sesil serius, “Pertanyaan selanjutnya agak serius nih.” Cowok itu menggosok kedua telapak tangannya, “Sesil cinta sama Chiko?”

Sesil menggeleng, “Belum. Apa aku boleh belajar?”

“Belum ya?”

Perasaan Chiko jadi terbelah menjadi dua, murung dan senang. Murung karena Sesil ternyata belum mencintainya, dan senang karena gadis itu sudah ada niatan mau belajar.

“Gakpapa deh aku duluan. Tapi kamu harus janji bakal cepet nyusul ya?” kata Chiko.

“Hah?”

 


_______________

Bersambung...

My ChikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang