Chiko menghela napas panjang. Setelah berminggu-minggu menghadapi hidup yang membosankan di rumah sakit kini akhirnya dia bisa terbebas juga dari ruang sialan itu.
Nyatanya berleha-leha di atas brankar tak serta merta membuat hidupnya makmur. Tubuhnya justru pegal semua karena aktivitas yang dia lakukan cuman rebahan, makan, jalan ke toilet.
Mau minta pijit tapi bingung minta tolong sama siapa. Penghuni setia kamar rawatnya hanya empat sahabatnya, itu pun tak mendukung kesembuhannya. Seringnya mereka malah menjelma menjadi nyamuk yang seliweran di telinganya saat dia ingin tidur.
Minta tolong dipijit sama mereka? No!
Yang ada mereka malah menginjak tubuhnya membabi buta, lebih ngeri lagi kalau otak sedeng mereka lagi kumat, bisa jadi tubuhnya dijadikan mobil-mobilan yang ditunggangi empat orang sekaligus.
"Kak Chiko mau langsung tidur atau di sini dulu?" tanya Sesil memeluk barang belanjaan yang baru saja di belinya.
"Di sini aja deh. Bosen rebahan mulu."
Sesil mengangguk, "Tunggu ya, aku beresin ini dulu terus buat minuman untuk Kak Chiko."
"Oke. Minumannya yang spesial ya. Jangan lupa ditaburi kata I Love U biar calon imam cepet sembuh."
Gadis itu mengulum senyum, Chiko tak pernah kehabisan kata untuk membual. Sesil melangkah meninggalkan Chiko menuju dapur, membereskan barang belanjaannya yang sengaja dia beli untuk kebutuhan beberapa hari ke depan.
Kedatangan Chiko yang berniat menginap di apartemennya membuat Sesil harus mempersiapkan diri. Chiko sedang sakit, mungkin akan membutuhkan banyak hal nantinya.
Sepeninggalan Sesil kondisi kembali hening. Chiko mengedarkan pandangannya ke sepenjuru ruangan. Masih bersih seperti terakhir kali dia berkunjung. Dia beranjak berdiri mengelilingi apartemen lebih dalam lagi, melihat apa-apa yang dia lewatkan dulu.
Kakinya berhenti saat melihat foto yang dilapisi figura besar. Seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi didampingi gadis kecil yang duduk pada pegangan kursi.
"Cantik gak?"
Chiko menoleh dan mendapati Sesil yang sudah ada di sampingnya. Gadis itu memberikan teh hangat padanya yang terpaksa dirinya terima.
Bukannya apa-apa. Setiap hari Chiko selalu mendapatkan teh hangat dari rumah sakit jadi jelas saja dia mulai bosan, dan kini ketika dia sudah terbebas dari tempat itu Sesil malah memberinya teh hangat juga.
"Cantik. Dari kecil calon makmum nya Chiko udah cantik. Duh jadi ingin makan itu pipi, chubby banget!"
Sesil tertawa, "Bukan aku, tapi Mama."
Chiko menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Oh... Hehe. Cantik kok, sama kayak kamu."
Kali ini Sesil menjawabnya dengan senyum getir, "Sayangnya udah gak bisa lihat wujud aslinya lagi."
Chiko menggenggam tangan gadisnya, "Aduh, gak boleh sedih dong. Kalau kamu sedih yang nguatin aku siapa? Gak sembuh-sembuh nih."
Sesil memeluk lengan Chiko, bersandar di bahunya.
"Lagian sekarang udah ada Ayah, ada Bunda. Punya Abang juga," kata Chiko ketus diakhir kalimatnya.
"Masih aja cemburu," ujar Sesil paham maksud dari cowok itu.
Chiko mendengus kesal. Dia meminum teh hangatnya yang terasa sempurna saat menyentuh lidahnya.
"Kak Chiko bangga gak kenalin diri sebagai anak Bunda?" tanya Sesil.
"Bangga lah. Jadi anak dari wanita hebat tentu harus disombongkan."
Sesil membawa Chiko duduk di atas sofa yang berhadapan dengan foto tersebut, "Menurut Kak Chiko aku boleh gak memperkenalkan diri sebagai anak Mama?" tatapan Sesil berubah menjadi sendu kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Chiko
Mystery / ThrillerNaksir cewek ✓ Langsung tunangan ✓ Cinta tak bertepuk sebelah tangan ✓ Sesimpel itu kisah cinta seorang Chiko Dava Pratama. Mendapatkan Sesil adalah sebuah kebanggaan yang patut dia sombongkan. Gadis itu bagaikan bidadari. Cantik wajah, cantik hati...