42. Tiga Elang

683 102 3
                                    

Suara gemericik air dari pancuran yang terjun ke kolam terdengar begitu merdu. Banyak ikan ikut menari di sana, menikmati indahnya hari dengan air yang bergerak layaknya gelombang laut.

Sebuah foto usang melengkapi suasana hari ini. Adi Wijaya mengusap foto tersebut. Tiga pria berbaju khas SMU tersenyum lebar di sana, membuat pikirannya bernostalgia mengingat kenangan masa putih abu-abu nya dulu.

Flashback on....

"Adi. Adek kamu cantik. Boleh gak aku pacari?"

Davin meletakkan sikunya di bahu Tio, "Kamu yakin bisa lewati abangnya? Kamu harus bisa menang adu jotos sama Adi kalau mau dapetin Desi."

Tio menepis tangan Davin, "Kalau sewa kamu harganya berapa?"

Davin menunjuk dirinya sendiri memastikan pendengarannya tidak salah. Setelah mendapatkan anggukan dari Tio dia memperbaiki posisi duduknya, "Maaf, Tio. Untuk kali ini aku gak terima jasa otot. Bisa salah paham pacarku nanti."

Pria bernama Davin itu memang suka di sewa oleh teman-temannya untuk membantu dalam hal kekuatan. Biasanya paling kerap di sewa untuk ajang balas dendam, walaupun setelah itu dia harus mendekam di kantor BK. Tapi bagi Davin itu bukan masalah besar, yang penting mendapatkan uang maka semua hal akan dianggap remeh olehnya.

Adi terkekeh melihat perdebatan dua temannya, "Sudah-sudah gak usah berdebat," katanya. "Tio, kalau kamu mau jadi pacar adek aku tentu banyak syaratnya. Kamu tahu sendiri dia adek kesayanganku kan," lanjutnya.

"Tapi karena yang menjadi kandidat kali ini adalah sahabat sendiri jadi syaratnya bisa diperingan deh."

"Aku boleh daftar gak, Di?" tanya Davin tampak antusias.

"Untuk kamu aku tolak mentah-mentah," tukas Adi cepat-cepat.

"Kok gitu? Aku kan juga sahabat kamu," kata Davin tidak terima.

Adi membuang puntung rokoknya, "Pertama, otak kamu tidak memadahi untuk mencerdaskan calon keponakanku kelak."

Davin melengos tidak suka, "Tapi aku bisa melindungi adek kamu." Pria itu memamerkan otot lengannya.

"Mengandalkan otot tanpa otak bakal jadi berat sebelah," sindir Adi. "Yang ke dua," lanjutnya.

"Aku tidak mau menyerahkan adekku pada pria playboy macam kamu. Bakal makan hati setiap hari. Kasihan Desi nanti."

"Hei...! Aku bukan playboy ya," tukas Davin tidak terima.

"Bukan playboy kamu bilang? Punya pacar tapi masih ngejar perempuan lain itu apa namanya?"

Kali ini giliran Tio yang tertawa menang. Tidak disangka dia mendapat respons baik dari Adi, abangnya Desi. Bukankah akan jadi mudah baginya untuk mendapatkan gadis itu?

"Bentar. Kamu bilang bakal berat sebelah karena aku hanya bisa mengandalkan otot tanpa otak. Lalu apa kabar dengan Tio yang cuman bisa mengandalkan otak? Sama-sama berat sebelah kan." Davin terus melanjutkan perdebatan.

Tio melepas sepatunya lalu duduk bersila, "Davin, aku bisa mengandalkan otot hanya saja kalau Adi lawannya aku pasti kalah."

Davin memutar bola matanya malas. Dia bergeser lebih dekat dengan Adi, "Bagaimana dengan fisik? Bukankah memperbaiki keturunan itu penting? Lihat aku sudah tampan dari lahir." Davin membusungkan dadanya sombong.

Adi menggeleng tidak percaya. Tingkat kepedean sahabatnya yang satu itu sangat melampaui batas. Tapi sayangnya untuk mempercayainya hanya sepuluh persen karena dia tahu tabiat seorang Davin, suka menggoda sana-sini.

My ChikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang