7. Bubur ayam

2.9K 425 30
                                        




Jam masih menunjukkan pukul enam pagi tapi lima cowok berandalan dengan model seragam acakadul sudah mengendarai sepeda motor membelah keramaian kota sambil membawa tas masing-masing.

Bukan sebuah keajaiban di mana mereka berubah menjadi siswa teladan, itu mustahil. Mereka berangkat sekolah lebih pagi atas usul Tito yang kirim pesan lewat grup WA kalau dia ingin sarapan bubur ayam, akhirnya keempat orang lainnya ikut-ikutan ingin sarapan bubur ayam juga.

Namun sayangnya semuanya tidak berjalan dengan lancar. Penjual bubur ayam langganan mereka malah tidak jualan hari ini, membuat kelimanya harus berkeliling kota mencari penjual bubur ayam lain.

“Belok coba Gas,” kata Chiko yang duduk di jok belakang Bagas.

Cowok itu membelokkan motornya ke kiri kala menemukan pertigaan. Di belakang mereka ada Tito dan Revan yang juga berboncengan, dan di belakangnya lagi ada Alex yang memilih mengendarai motor sendirian.

“Mana elah! Telat kagak kita nanti?” Bagas nampak frustasi mencari keberadaan penjual bubur ayam.

Chiko mendorong kepala Bagas yang berlapisan helm, “Sok jadi murid teladan lo. Biasanya juga jam sembilan baru sampai sekolahan.”

Bagas berdecak kesal, “Laper gue.”

“Ya udah cari yang lain.”

“Lagi pingin bubur ayam njir!”

Cowok yang berada di jok belakang itu mendengus kesal. Beginilah Bagas kalau sudah menginginkan sesuatu, tidak mau diganti dengan apa pun. Jika penjual bubur ayam ada di tempat terpencil pun dia akan tetap mendatanginya.

Tiiin...! Tiiin...!

Chiko menoleh. Di belakangnya Revan dan Tito sudah memberikan isyarat tentang kelanjutan mencari sarapan. Ternyata bukan hanya Bagas, mereka berdua bahkan dirinya juga memiliki perut yang tidak bisa diajak kompromi.

“Kalau tau gini gue suruh pembantu buatin bubur ayam tadi,” tukas Bagas.

Chiko kembali menampol kepala Bagas, “Kenapa tuh ide gak keluar dari tadi?! Sekarang udah jauh dari rumah lo.”

Bagas membenarkan letak helmnya, “Males putar balik lagi. Susah mau nyebrang jalan.”

Akhirnya Chiko memilih untuk diam. Meladeni Bagas akan membuatnya kehilangan banyak tenaga, apalagi dia belum sarapan. Matanya menatap ke kiri jalan mencari penjual bubur ayam yang seharusnya banyak ditemukan dipinggir jalan saat pagi hari.

“Kalau males nyebrang jalan, gue aja yang di depan. Udah kayak kakek-kakek aja lo takut nyebrang.”

“Mana Tito gak tau diri lagi. Orang yang ingin sarapan bubur ayam pertama kali dia, tapi dia gak mau di depan.”

Chiko terus saja menggerutu kesal. Semuanya gara-gara bubur ayam atau gara-gara dia lapar jadi berubah menjadi rese?

“Stop! Stop!” Chiko menepuk pundak Bagas keras kala melihat sebuah warung dengan poster ber-baground warna hijau dan bertuliskan ‘Bubur ayam’.

Cowok itu mengerem motornya mendadak tepat dipinggir perempatan jalan tanpa rambu lalu- lintas.

Brak!

Karena Bagas tidak memberikan peringatan akan berhenti ditambah lagi Revan terlalu fokus memandang jalanan akhirnya tanpa sengaja dia menabrak motor bagian belakang Bagas, membuat motor milik Bagas sedikit maju menghalangi jalan lain.

“Buset!” Chiko terpentok helm cowok di depannya.

Brak!

Tidak cukup sekali kesialan itu terjadi. Sebuah motor dari arah berbeda melaju dengan kecepatan tinggi lalu menabrak motor Bagas dari samping, membuat Chiko terlempar dan masuk ke dalam warung bubur ayam.

“Uhuk! Uhuk!” Seorang pelanggan dalam warung yang sedang makan bubur ayam tersedak seketika kala tiba-tiba ada manusia terlempar masuk ke dalam warung.

“Encok dah!” Chiko memegang punggungnya yang terasa ingin patah, sedangkan tangan satunya mencari pegangan yang akan membantunya berdiri.

Namun sayangnya dia menemukan pegangan yang salah. Bukannya meja atau sudut dinding, dia malah menggunakan gagang teko plastik yang masih terisi penuh dengan teh hangat sebagai pegangannya.

Byur!

Lengkap sudah.

*****

Seorang wanita paruh baya berjalan membawa dua mangkok bubur ayam lalu menaruhnya di depan Alex dan Bagas yang sudah menunggu.

“Lain kali kalau naik motor hati-hati ya. Daerah sini memang rawan kecelakaan,” kata Ibu Marni sebelum melenggang pergi mengambil bubur ayam lagi.

Alex, Revan, dan Bagas mengangguk sopan. Sedangkan Tito mengaduk bubur ayamnya seraya menatap Chiko yang memakan bubur ayam dengan lahap.

Tak seperti orang yang sedang kenasiban, Chiko memakan bubur ayam layaknya orang yang tidak makan dari SD.  Padahal Tito yang mendapatkan bubur bersamaan dengan Chiko saja baru memasukkan dua sendok ke dalam mulut, tapi cowok itu sudah hampir habis saja.

“Bajunya gak kebesaran kan, Nak?” tanya Bu Marni memberikan satu mangkok bubur ayam pada Revan.

“Enggak Bu. Pas kok. Makasih Bu,” ungkap Chiko sambil mengunyah makanannya.

Wanita paruh baya itu duduk di bangku lain, “Maaf. Ibu cuman bisa kasih baju partai sama Nak Chiko. Soalnya baju Ibu yang lain daster semua.”

“Saya mau ngomong tapi gak enak sama Ibu. Sebenarnya Chiko lebih nyaman pakai daster,” ujar Bagas membuat Tito dan Revan yang mendengarnya langsung tersedak. Sedangkan Chiko menatapnya tajam.

Wanita berusia setengah abad itu tertawa mendengar lelucon anak muda tersebut, “Nama kamu siapa Nak?”

“Bagas, Bu.”

Beliau mengangguk, “Nak Bagas gak boleh gitu. Kasihan tuh temennya sampai tersedak.”

“Udah biasa Bu. Denger orang bersin aja mereka kaget.”Bagas mulai memakan bubur ayamnya.

Bu Mirna menggeleng, “Kalian sekolah di mana?”

“Di SMA Tunas Bangsa,” jawab Revan.

“Ya Allah... Jauh sekali. Kenapa bisa sampai sini?”

Chiko mengusap mulutnya dengan tisu setelah menghabiskan bubur ayamnya, “Cari bubur ayam susah Bu, kayak cari harta karun. Nyasar deh sampai sini.”

Wanita paruh baya itu terkekeh. Beliau sangat terhibur dengan keberadaan kelima cowok berseragam SMA itu. Ternyata penampilannya saja yang nampak urakan, tapi mereka tidak lupa dengan tata krama ketika berhadapan dengan orang tua.

Tak memerlukan waktu lama bagi mereka menghabiskan sarapan, kini mangkok-mangkok berisi bubur ayam tersebut sudah habis tak tersisa.

Setelah berbasa-basi sebentar dengan pemilik warung akhirnya kelimanya memilih pamit karena jam masuk sekolah sudah mepet, belum lagi jarak dari warung ke sekolahan cukup jauh.

Sepertinya mereka harus ngebut nanti.

“Jangan bosan-bosan mampir ke warung Ibu lagi ya?” Tangan lembut Bu Mirna memegang punggung Tito yang sudah bersiap menggunakan helm.

“Pasti Bu. Kapan-kapan lagi kami ke sini dah,” jawab Revan.

“Lagian sebentar lagi Bagas mau ulang tahun Bu. Dia mau ngadain syukuran bagi-bagi bubur ayam sama anak yatim,” kata Alex ngawur yang langsung dapat pelototan mata dari Bagas.

“Iya? Subhanallah... Udah ganteng baik hati lagi.” Bu Mirna menatap Bagas penuh kagum.

Cowok itu menampilkan deretan gigi putihnya, “Ah Ibu bisa aja,” katanya. Walaupun dalam hati dirinya sudah mengumpat pada teman-temannya yang kelihatan menahan tawa.

Sebentar lagi Bagas memang akan ulang tahun tapi bersedekah belum ada di dalam planing-nya.









__________________

Bersambung...



Author: Terimakasih sudah baca😊

My ChikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang