Reina melangkahkan kakinya memasuki area rooftop. Hembusan angin kencang langsung menerpa wajahnya. Rasanya semua ini terlalu berat untuk dijalani. Terlebih jika Romi tahu pria itu pasti memarahinya habis-habisan.
Reina rasanya tidak ingin pulang ke rumah. Dia tak sanggup jika harus kembali dihadapkan pada kenyataan kenyataan berikutnya. Dengan kaki yang menjuntai ke bawah, Reina menundukan kepala. Membuat beberapa helai rambutnya turun menutupi wajah.
"Jangan sedih-sedih gitu," ujar seseorang membuat Reina menolehkan kepala. Dilihatnya Fano yang tengah tersenyum ke arahnya. Reina memang sempat menghubungi Fano. Entah mengapa rasanya dia lebih nyaman berkeluh kesah kepada Fano.
"Nih." Fano menyodorkan sebatang cokelat matcha favorit Reina.Reina menyipitkan mata menatap Fano.
"Dalam rangka apa?" tanyanya.
"Hadiah."
"Gue kalah, Fan," ujar Reina tersenyum getir.
"Kalah bukan berarti harus menyerah kan," ujar Fano. "Lo nggak harus selalu jadi yang terbaik, Rein. Jangan jadiin juara umum sebagai tolak ukur seberapa baiknya lo. Yang terpenting itu prosesnya, bukan hasilnya," ujar Fano.
Fano menyodorkan kembali cokelat yang dia pegang kepada Reina, "ambil," ujarnya, "anggap sebagai hadiah karena lo udah mau berjuang sampai sejauh ini. Jangan nyerah, tetep semangat ya."
Fano tersenyum manis kepada Reina. Tangannya bergerak mengacak pelan rambut gadis itu.
"Makasih," ujar Reina.
"Eh iya, Mami tadi nanyain lo," ujar Fano tiba-tiba.
"Mami yang ambil raport?" Fano mengangguk berulang kali.
"Mau ketemu sama Mami?" tawar Fano.
"Emang raport lo udah selesai diambil?"
"Hm? Nggak tahu deh, tadi waktu gue ke sini baru giliran Alfi. Kita coba cek aja ke kelas," ujar Fano.
Reina tampak berfikir sejenak. Tak lama kemudian dia pun menganggukkan kepala. Sepertinya Reina butuh sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Dan mungkin bertemu dengan Mami Fano bukanlah pilihan yang buruk. Namun sayang sesampainya di kelas Fano, rupanya Mami Stella sudah pulang. Keberadaannya bahkan tidak ditemukan di area sekolah manapun.
"Mami katanya udah pulang," ujar Fano setelah menanyakan keberadaan Stella lewat pesan WhatsApp.
"Gimana dong? atau lo mau ke rumah?" tawar Fano yang langsung diangguki oleh Reina. Kebetulan sekali dia sedang tidak ingin pulang ke rumah, suram saja rasanya.
"Ya udah ayo kita ke parkiran."
Saat diperjalanan menuju parkiran, ponsel Reina tiba-tiba berdering. Reina menghentikan langkah. Dia melihat ponselnya sejenak ketika tahu Renata yang menelfon nya.
"Halo Reina, kamu di mana? Tante sudah selesai ngambil raport kamu. Kamu mau pulang bareng?" tanya Renata di seberang sana.
"Tante kalau mau pulang, pulang aja. Reina ada urusan."
"Oh, yasudah, hati-hati ya. Jangan pulang larut malam."
"Hm."
Setelahnya Reina langsung mematikan sambungan telfon. Dilihatnya Fano yang tengah mengemudikan motor ke arahnya. Reina memasukan ponselnya ke dalam saku ketika Fano menyodorkan sebuah helm kepadanya.
Reina memakai helm itu, ia lalu naik ke atas boncengan motor Fano. Tak lama kemudian, motor pun melaju membelah padatnya jalanan Ibu Kota. Ya, Reina harap keputusannya untuk tidak langsung pulang ke rumah ini benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Reina [SELESAI]
Teen Fiction"Lupa lepas cincinnya, Fan." "Kenapa harus dilepas?" "Lo nggak baik-baik aja kalau cincinnya masih dipake. Iya, kan?" "Nggak usah terlalu pikirin gue, gue baik-baik aja." ____ "Aku nggak mau ngerepotin Kak Al dengan antar jemput aku ke sana sini." "...