EPILOG

5.8K 251 82
                                    

Ayunan lagu Buaian milik Danilla mengalun merdu di seluruh penjuru Kafe yang saat ini menjadi tempat Reina bernaung. Di luar, hujan turun dengan deras mengguyur Kota Jakarta sejak pagi tadi. Musim penghujan mulai datang, membuat banyak orang siap siaga membawa payungnya kemana pun mereka pergi.

Reina sedang berkutat di hadapan laptopnya. sejak dua jam yang lalu, gadis itu duduk menghadap jendela Kafe ditemani hangatnya matcha latte kesukaannya. Bahkan gelas yang tersaji di dekatnya sekarang merupakan gelas yang ketiga.

Sejak acara kelulusannya dua bulan lalu, Reina sibuk belajar untuk mematangkan persiapannya masuk dunia perkuliahan tahun depan. Ya, setelah melewati berbagai pilihan sulit, akhirnya Reina memilih gap year. Ia baru akan masuk kuliah di tahun ajaran berikutnya.

Ingat, ini pilihan Reina. Gap year bukan berarti tidak mampu, tapi ia mencoba untuk memantapkan pilihan dan lebih mempersiapkan diri untuk masuk dunia perkuliahan.

Selama dua bulan terakhir juga Reina sibuk mencari pekerjaan part time untuk mengisi waktu luangnya. Bahkan sesekali ia mengajari anak tetangganya latihan vokal dan bermain gitar. Bukan untuk mencari uang, Reina hanya tidak ingin waktunya terbuang sia-sia begitu saja, ia ingin memanfaatkan waktu yang ia miliki dengan melakukan hal-hal bermanfaat.

Ketikan tangan di laptop Reina terhenti ketika seseorang tiba-tiba menutup kedua matanya dari belakang. Sesaat kening Reina mengkerut, tapi ia tetap mempertahankan sikap tenangnya.

Sebelah tangan Reina bergerak memegang tangan orang yang menutup matanya. Ia meraba-raba tangan itu dengan penuh kehati-hatian. Kemudian Reina mencoba mengandalkan indra penciumannya dengan mengendus-endus aroma di sekelilingnya. Bibir Reina menyunggingkan sebuah senyuman ketika dia merasa yakin dengan tebakannya. Tidak salah salah lagi.

"Kak?" panggilnya.

Perlahan, tangan yang menutup mata Reina mulai terlepas, membuat Reina kembali bisa melihat dengan jelas. Gadis itu menolehkan kepalanya ke belakang, dan benar saja, karena tebakannya selalu tepat.

"Kok tau?" Alaric menarik kursi di samping Reina, lalu mendudukkan dirinya di sana.

"Menurut L?"

Alaric terkekeh, ia mengacak rambut Reina pelan, lalu mencondongkan tubuhnya menatap Reina lebih dekat. Mendapat perlakuan seperti itu dari Alaric, Reina terkejut bukan main. Dengan refleks ia langsung memundurkan tubuhnya, membuat dirinya dengan Alaric kembali berjarak.

"Ihh! Ngapain?"

Alaric tidak menanggapi, tangannya bergerak mengambil cangkir matcha Reina yang masih utuh, lalu meminumnya sedikit demi sedikit.

"Ihh! punya aku!" protes Reina tidak terima. Mendengar itu, dengan segara Alaric menaruh kembali cangkirnya.

"Di luar dingin."

Reina mendengus. "Kan bisa pesen sendiri!"

"Jangan kebanyakan minum matcha," ujar Alaric tiba-tiba.

"Hm? Dikit doang."

"Dikit doangnya dikali 3?" terka Alaric. Lelaki itu menatap tepat ke dalam manik mata Reina. Reina mengerjap berulang kali, bagaimana Alaric bisa tau?

"Sotau!" ujar Reina.

"Saya gak sok tau, orang ada buktinya." Lelaki itu mengeluarkan sebuah bill ke hadapan Reina.

Reina melirik sekilas bill itu lewat ekor matanya, dan ternyata itu adalah bill pesanan Reina yang sudah dibayar oleh Alaric.Kalau begitu ceritanya Reinaa tidak bisa mengelak lagi.

"Iya, abis tiga cangkir doang," jawab jujur Reina akhirnya.

"Udah abis tiga cangkir. Nggak pake doang." Lagi-lagi Reina mendengus. Bibirnya mengerucut beberapa senti ke depan.

Story of Reina [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang