Satu perasaan yang aku benci adalah ketika kembali diingatkan oleh kenyataan bahwa, aku dan kamu berbeda—Reina Salsabila Kanza
— Story of Reina —
Reina melangkahkan kakinya di sepanjang koridor sekolah dengan lesu. Bagaimana tidak, sejak semalam dia terus-terusan kepikiran akan perkataan Romi yang katanya hari ini dia akan bertemu dengan keluarga calon tunangannya. Yang benar saja, bukankah ini terlalu cepat?
Hembusan napas kasar terdengar keluar dari mulut Reina. Gadis itu terus berjalan hingga akhirnya sampai di ruang kelas.
"Kusut amat muka lo, kenapa? Ada masalah?"
Reina tidak menjawab. Dia mengabaikan pertanyaan Zahra dan menyimpan tas ranselnya secara kasar di atas meja. Setelahnya Reina menidurkan kepala di atas sana, bagai orang yang kehilangan semangat hidup.
"Lo kenapa sih?" tanya Zahra lagi. Tampaknya sahabat Reina yang satu itu memang tidak bisa berlama-lama melihat tingkah Reina yang seperti ini.
Zahra menipiskan bibir ketika pertanyaannya lagi-lagi tidak mendapat balasan dari Reina. Gadis itu lantas berjalan mendekat, lalu duduk di samping Reina. Untuk beberapa saat Zahra hanya diam, memperhatikan Reina yang masih enggan mengeluarkan suara.
"Ada masalah? Cerita sama gue yu." Zahra mendesak. Namun, Reina tetap menggeleng pelan tanda dia belum siap bercerita apapun.
Melihat respon yang ditunjukkan Reina, Zahra pun menghela napasnya panjang. Dia sudah tahu betul tabiat Reina sulit terbuka dengan siapa pun. Setiap ada masalah, Reina cenderung memendamnya sendirian. Hingga membuat Zahra terkadang merasa tidak dianggap sebagai sahabatnya.
"Selamat pagi!!" Teriakan seseorang dari ambang pintu membuat atensi seisi kelas teralihkan, tak terkecuali dengan Reina. Gadis itu mendongak untuk menatap Tasya yang baru datang dengan raut wajah secerah mentari paginya.
"Pstt," tegur Zahra. Ia menyimpan jari telunjuknya di depan bibir. Tasya tidak sadar apa jika teriakannya sudah membuat teman-temannya satu kelas terganggu?
Mendapat teguran dari Zahra, Tasya hanya tersenyum menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. Dia kemudian mengeluarkan sesuatu yang sedari tadi di sembunyikan di balik punggungnya.
"Nih! Dari Fano," kata Tasya. Menyodorkan sebuah keresek putih ke hadapan Reina. Reina yang mendengar kata 'Fano' disebut pun langsung menegakkan badan. Sikapnya langsung berubah 180° derajat saat itu juga.
"Kok di elo? Fanonya mana?"
Tasya mengangkat kedua bahunya tanda tidak tau. "Gak tau, tadi nggak sengaja aja ketemu di Gerbang, dia manggil gue terus ngasih itu," tutur Tasya. Membuat kernyitan di dahi Reina terlihat jelas.
Tangan Reina lantas bergerak mengambil kresek tersebut, yang ternyata isinya adalah susu kotak rasa vanilla dengan roti isi selai keju kesukaannya. Reina tersenyum senang, Fano tahu saja jika dirinya belum sarapan.
"Dih tadi aja ditanya nggak mau ngeluarin suara. Sekarang malah senyam-senyum sendiri," sindir Zahra. Meski begitu, Zahra tetap merasa lega karena masih bisa melihat senyum di wajah Reina.
"Sirik aja, mau lo?" Reina menyodorkan roti yang telah ia gigit ujungnya ke hadapan Zahra. Melihat itu Zahra otomatis menggelengkan kepala. Dia alergi keju, mencium baunya saja sudah eneg.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Reina [SELESAI]
Roman pour Adolescents"Lupa lepas cincinnya, Fan." "Kenapa harus dilepas?" "Lo nggak baik-baik aja kalau cincinnya masih dipake. Iya, kan?" "Nggak usah terlalu pikirin gue, gue baik-baik aja." ____ "Aku nggak mau ngerepotin Kak Al dengan antar jemput aku ke sana sini." "...