Reina memasuki kelas dengan tampang tidak bersahabatnya. Dia menyimpan tasnya di atas meja dengan kasar, lalu menenggelamkan kepala di atas lipatan kedua tangannya.
"Lo kenapa?" tanya Zahra yang hanya dibalas gelengan kepala oleh Reina.
Tasya menatap Zahra dengan pandangan penuh tanya. Zahra sendiri juga tak tau apa yang terjadi pada Reina, sehingga ia hanya mengedikkan kedua bahunya, tanda tidak tahu.
Tak lama dari itu bel masuk berbunyi nyaring. Guru yang mengajar di pelajaran pertama memasuki ruangan kelas Reina. Reina menyimak materi tanpa minat akibat perkataan Rayyan tadi pagi yang terus terngiang-ngiang dibenaknya.
Hingga akhirnya jam pelajaran pertama pun usai. Reina menatap Zahra yang sedang memasukan buku-bukunya ke dalam tas. Ada sedikit keraguan untuk bertanya, namun jika bukan kepada Zahra, kepada siapa lagi Reina akan menceritakan keluh kesahnya?
"Ra?" panggilnya. Zahra menoleh dengan satu alis terangkat.
"Kenapa?"
"Gue mau cerita," ujar Reina.
"Kan, cerita apa? Lo lagi ada masalah ya? Cerita aja sama gue, ayo. Gue siap dengerin kok."
Zahra sudah menduga-duga bahwa Reina sedang tidak baik-baik saja, dan ternyata dugaan itu benar adanya. Dia tidak mau mendesak Reina untuk bercerita, makanya sedari tadi dia mendiamkan Reina hingga akhirnya Reina sendiri yang menawarkan diri untuk bercerita.
Zahra siap mendengarkan. Reina bercerita dengan posisi duduknya. Namun sebelum itu benar-benar terjadi Tasya tiba-tiba datang dan mengajaknya pergi ke kantin.
"Ra, Rein, ayo!" ajaknya tanpa dosa. Zahra meringis pelan, dia memberikan isyarat lewat tatapan matanya kepada Tasya agar gadis itu diam. Beruntung Tasya mengerti, sehingga dia membatalkan niatnya ke kantin dan memilih duduk di bangku depan Reina. Tasya memutar posisi bangkunya ke belakang, jadi menghadap Reina dan Zahra.
"Kenapa?"
Reina menggigit bibir bawahnya sesaat. "Gue mau nanya sama kalian," ujarnya menatap Zahra dan Tasya bergantian.
"Seandainya kalian punya pacar nih, bakal sakit hati nggak denger pacarnya dijodohin sama orang lain?" tanya Reina kemudian.
"Ya sakit hati lah," jawab Tasya. "Lebih ke kecewa sih," katanya lagi.
"Lo, Ra?"
Zahra tampak berfikir sesaat, kemudian dia bergumam, "Seandainya gue punya cowok terus cowok gue dijodohin sama cewek lain, hm..." kata Zahra mulai membayangkan, "ya, ya iyalah sakit hati. Pake banget malahan."
Reina menghembuskan napasnya kasar. Perasaan tidak enak kepada Fano itu semakin mencuat ke permukaan.
"Lo kenapa sih?" tanya Zahra. "Lo nanya kaya gitu pasti ada hubungannya sama Fano, iya kan?"
Reina mengangguk lesu. "Gue selama ini jahat ya?" kata Reina, "Gue udah sakitin perasaan Fano berulang kali, tapi Fano masih tetep baik aja sama gue," kata Reina lagi dengan suara lirihnya. Tangan Zahra bergerak mengelus pundak Reina, mencoba menenangkan perasaan sahabatnya.
"Lo kenapa tiba-tiba kepikiran kayak gitu? Bukannya Fano selama ini juga fine-fine aja kan?"
Reina menatap Tasya yang baru saja berbicara dengan pandangan yang sulit diartikan. "Dia emang keliatan Fine di depan gue, Tas. Tapi kita nggak tau apa yang terjadi saat Fano lagi di belakang gue."
"Gue bingung..." Reina berujar lirih, "gue sayang sama dia, dan gue gak mau nyakitin hati dia. Tapi gue baru sadar kalo Fano bisa aja ngerasain sakit hati karena hubungan gue sama Kak Alaric. Gue bingung harus gimana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Reina [SELESAI]
Fiksi Remaja"Lupa lepas cincinnya, Fan." "Kenapa harus dilepas?" "Lo nggak baik-baik aja kalau cincinnya masih dipake. Iya, kan?" "Nggak usah terlalu pikirin gue, gue baik-baik aja." ____ "Aku nggak mau ngerepotin Kak Al dengan antar jemput aku ke sana sini." "...