"Saya pulang ya."
Angin berhembus kencang, membuat rambut terurai Reina berterbangan. Gadis itu menatap Alaric di hadapannya yang sudah siap pergi. Sesaat kemudian, Reina menganggukkan kepala membalas ucapan Alaric.
Setelah pengakuan lelaki itu beberapa jam lalu, Reina menjadi lebih banyak diam. Dalam hati dia menyesali perbuatannya yang bertanya tentang hal-hal sensitif kepada Alaric. Karena faktanya, pertanyaannya itu menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.
Helaan napas panjang terdengar keluar dari mulut Alaric. Tanpa mengucap apa pun lagi, dia masuk ke dalam mobil dan melajukannya keluar dari pekarangan rumah Reina. Sesaat Reina mendesah kecewa, sebelum akhirnya dia masuk ke dalam rumah untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
* * *
Kafe Erlan atau Lan's Coffee menjadi tempat bernaung Reina saat ini. Gadis itu duduk di sudut kafe dengan segelas matcha latte di meja.
Hampir setengah jam lamanya ia menunggu kehadiran Fano yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. Reina menggoyang-goyangkan kaki mengikuti alunan musik yang diputar Kafe. Anggap saja ia sedang meluangkan waktu untuk dirinya sendiri saat ini.
Ia tak terlalu ambil pusing dengan keberadaan Fano. Ini Jakarta. Kota dengan intensitas kepadatan penduduk tertinggi, dan sudah bisa dipastikan Fano terjebak dalam kemacetan.
Saat sedang larut dalam lamunan, Reina tiba-tiba dikejutkan dengan kehadiran seseorang di sampingnya. Gadis itu tersentak kaget. Dia lantas menolehkan kepala ke samping, dan netra matanya langsung di penuhi oleh sosok tinggi Alaric.
"Ngapain di sini?" tanya lelaki itu.
"Ada urusan."
Sebelah alis Alaric terangkat. Belum sempat dia bertanya lebih jauh, Fano tiba-tiba datang dan duduk di samping Reina yang satunya.
"Sorry lama Rein, macet di jalan."
Reina mengangguk paham. Ekor matanya masih bisa melihat keberadaan Alaric. Dalam hati dia bertanya-tanya akan apa yang sedang cowok itu lakukan?
"Mau gue pesenin minum?" tawar Reina. Fano menggeleng.
"Nggak usah," ujarnya sembari mengambil matcha latte milik Reina yang masih utuh. Lelaki itu meminumnya. Reina mendelik tajam ke arah Fano, tenyata kebiasaan lelaki itu tidak pernah berubah.
"Biar gue yang pesenin lagi minum," ujar Fano dengan cengiran tanpa dosanya, setelahnya itu dia meletakan kembali minuman milik Reina di meja.
Fano hendak bangkit, namun suara dehaman Alaric terdengar membuat niatnya urung. Mengetahui ada kehadiran orang lain di mejanya, Fano pun menoleh. Dia menatap Alaric dengan pandangan penuh tanyanya.
"Eh? Alaric ya?" sapa Fano sedikit meragu.
"Duduk, Bang," ujarnya lagi mempersilahkan.
Alaric tersenyum tipis kepada Fano. "Terima kasih, tapi saya ada urusan, lain kali saja ya."
Alaric lantas merunduk. Ia mensejajarkan posisinya dengan Reina yang duduk di kursi. Mendekatkan bibirnya ke telinga Reina, ia lantas berbisik, "Pulangnya biar saya yang antar. Saya di ruangan Bang Erlan, kalau sudah selesai langsung ke sana."
Entah kenapa Reina merinding mendengar suara bisikan Alaric. Terlebih hembusan napas lelaki itu terasa seolah menggelitik telinga. Reina mengangguk paham. Dia tidak tahu kenapa, tapi rasanya ia masih merasa canggung jika berhadapan dengan Alaric. Setelah berucap seperti itu, Alaric pun lantas bangkit dan menatap Fano sekilas.
"Duluan ya," katanya, lalu pergi menuju lantai dua Kafe, di mana ruangan Erlan berada.
* * *
Menapaki lantai atas, membuka pintu ruangan Erlan. Pemandangan pertama kali yang dia lihat adalah Abangnya yang tengah sibuk berkutat dengan laptop di hadapannya. Membuka jaket yang dikenakannya, Alaric lantas berjalan masuk dan mendudukkan diri di atas sofa berwarna biru laut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Reina [SELESAI]
Подростковая литература"Lupa lepas cincinnya, Fan." "Kenapa harus dilepas?" "Lo nggak baik-baik aja kalau cincinnya masih dipake. Iya, kan?" "Nggak usah terlalu pikirin gue, gue baik-baik aja." ____ "Aku nggak mau ngerepotin Kak Al dengan antar jemput aku ke sana sini." "...