Reina tersenyum getir menatap cincin yang melingkar di jari manisnya. Hembusan napas kasar terdengar keluar dari mulut Reina. Sesaat setelahnya gadis itu memandang kosong lapangan outdoor sekolahnya dari lantai tiga. Sepi. Itulah yang Reina rasakan. Bel pulang sekolah sebenarnya sudah berbunyi sejak dua puluh menit yang lalu, tapi Reina masih betah berlama-lama di tempat itu.
Mata Reina terpejam menikmati hembusan kencang angin yang menerpa kulit wajahnya. Hujan seperti akan segera turun karena langit juga mulai terlihat menggelap. Tiba-tiba pintu kelas Reina terbanting kencang hingga menimbulkan suara yang cukup keras.
Reina mengerjap kaget. Dia merasa suasana di sekelilingnya mendadak terasa aneh. Reina meneguk ludahnya susah payah. Dengan segera dia mengeluarkan ponselnya dan mencari kontak Alaric untuk mengiriminya sebuah pesan.
Reina: Kak, bisa jemput?
Reina sebenarnya tidak yakin Alaric akan menyanggupinya, tapi apakah salah jika dia meminta jemput pada Alaric? Bukan kah Alaric adalah tunangannya?
Tidak lama setelah pesan itu terkirim, ponsel dalam genggaman Reina berbunyi nyaring. Reina menatapnya sekilas, ternyata itu adalah panggilan masuk dari Alaric.
"Mang Ujang emangnya ke mana?" tanya Alaric to the point setelah Reina mengangkat panggilan telfonnya.
Reina tampak menggigit bibir bagian bawahnya, "Kak Al emangnya nggak bisa jemput?"
"Kamu masih di sekolah?"
"Iya."
"Tunggu di situ," ujar Alaric. "Biar aku telfon Mang Ujang suruh jemput kamu."
Tut.
Sambungan telfon pun dimatikan begitu saja oleh Alaric. Reina menganga tak percaya di tempatnya. Kenapa jadi Mang Ujang yang menjemputnya? Reina tidak ingin merepotkan pria paruh baya itu.
Reina: Nggak usah suruh Mang Ujang Kak, aku nebeng temen
Kak Al: Oke.
Helaan napas panjang terdengar keluar dari mulut Reina ketika membaca balasan pesan itu. Sungguh, benar-benar tidak ada yang bisa diharapkan dari Alaric. Reina memasukan ponselnya ke dalam tas. Dengan terpaksa dia pun turun ke lantai bawah dan berniat pulang menaiki bus.
Reina berjalan dengan tenang melewati lapangan yang kosong. Saat Reina melewati tengah lapangan angin kembali berhembus semakin kencang. Reina memejamkan matanya rapat-rapat ketika angin membawa dedaunan kering dan debu saling berterbangan.
Kepala Reina mendongak, menatap langit yang semakin mendung di atas sana. Sepertinya hujan benar-benar akan turun membasahi bumi. Reina mempercepat langkah, dia harus tiba di halte sebelum hujan deras mengguyur. Namun saat Reina berjalan melewati gerbang sekolah seseorang tiba-tiba memencet klason motornya.
Tin tin
Mendengar itu Reina spontan menoleh. Ternyata masih ada orang di sekolah ini. Reina melirik Fano yang saat ini sudah menghentikan motornya tepat di samping Reina.
"Mau pulang?" tanya Fano. Reina menganggukkan kepala membalas pertanyaan Fano.
"Ngapain jam segini masih di sekolah Fan?" tanya Reina kemudian.
"Biasa, bantuin Bu Retno beresin perpustakaan," balasnya.
Reina mencibir. "Halah, bilang aja dihukum. Abis bolos ya?" tanya Reina, menatap Fano dengan penuh selidik.
"Kaya yang nggak tau aja Rein."
"Jangan keseringan bolos, Fan. Lo udah-"
"Iya, gue tau gue udah kelas 12. Ini yang terakhir beneran deh," ujar Fano.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Reina [SELESAI]
Novela Juvenil"Lupa lepas cincinnya, Fan." "Kenapa harus dilepas?" "Lo nggak baik-baik aja kalau cincinnya masih dipake. Iya, kan?" "Nggak usah terlalu pikirin gue, gue baik-baik aja." ____ "Aku nggak mau ngerepotin Kak Al dengan antar jemput aku ke sana sini." "...