Saya udh di depan
Begitulah kiranya pesan yang dikirim oleh Alaric kepada Reina beberapa saat lalu. Reina menghela napasnya berat, sebelum akhirnya dia berjalan keluar dari tempat les dengan jantung berdebar kencang. Rasanya Reina seperti akan di eksekusi mati sebentar lagi.
Mobil putih Alaric sudah tertangkap oleh indra penglihatan Reina. Jaraknya hanya sekitar sepuluh meter dari tempat Reina berdiri saat ini. Sesaat Reina menyempatkan diri untuk menarik napas dalam-dalam dan menghembuskan nya perlahan. Setelah memantapkan diri akhirnya Reina pun berjalan mantap menghampiri Alaric.
Saat mobil Alaric sudah di depannya, tanpa menunggu perintah apapun, Reina langsung masuk dan mendudukkan dirinya di samping Alaric. Sesaat Reina menoleh, memperhatikan raut wajah Alaric yang sungguh sangat-sangat tidak enak untuk dilihat.
Pandangan mata Alaric menatap lurus ke depan, membuat Reina hanya mampu melihat rahang tegasnya dari samping. Tanpa lelaki itu sadari Reina bergerak gelisah dari tempatnya duduk, kedua tangannya di atas paha saling bertaut satu sama lain. Selama beberapa saat Reina menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, ia menunggu Alaric bersuara lebih dulu, tapi kelihatannya lelaki itu tidak berniat membuka mulutnya sama sekali.
"Kak?" panggil Reina akhirnya. Alaric tidak membalas, dia hanya bergumam pelan tanpa mau melirik Reina.
"Soal yang tadi Kakak liat-" Bibir Reina mendadak tertutup kembali ketika Alaric tiba-tiba menoleh ke arahnya.
"Kenapa?" tanya Alaric, namun Reina tetap bungkam. Nyalinya untuk berbicara dengan Alaric kembali menciut.
Melihat tidak ada pergerakan sama sekali dari Reina, Alaric pun menghela napasnya panjang. Tanpa banyak kata lelaki itu menggerakkan tangannya untuk menyalakan mesin mobil. Namun sebelum hal itu terjadi, Reina lebih dulu berujar membuat pergerakkan Alaric tertahan.
"Aku minta maaf," tutur Reina dalam satu tarikan napas. Akhirnya Reina berhasil mengeluarkan kalimat yang sedari tadi ia rangkai kata-katanya dari dalam hati.
Untuk beberapa saat, Alaric sempat menatap Reina lamat-lamat, sebelum akhirnya sebuah senyuman kecil terbit di wajah lelaki itu. Bukan, bukan senyuman, hal itu justru lebih terlihat seperti sebuah seringaian, yang membuat Reina seketika merasa takut.
"Gak masalah, mungkin kamu lupa kan," ujarnya. Reina meneguk ludah susah payah mendengar kalimat itu. Dengan Alaric yang bersikap seperti ini, rasa bersalah dalam diri Reina semakin besar.
"Nggak gitu-"
"Gimana? Jelasin."
Napas Reina tertahan, entah kenapa pasokan oksigen di sekitarnya jadi terasa menipis. Belum lagi tatapan mengintimidasi Alaric membuatnya ingin segera terbang ke langit ke-7 saat ini juga.
"Kebetulan aja arah pulang Fano sama tempat les aku searah," ujar Reina.
"Terus bedanya sama saya apa? Saya juga pulang ke apartemen, arahnya searah."
Reina bungkam. Haruskah dia menyesali keputusannya sekarang? Tapi kenapa bisa-bisanya tadi dia bertemu Alaric di jalan? Bukannya lelaki itu sudah pergi lebih dulu? Ahh, tidak mungkin kan Alaric mengikutinya? Dia tidak segabut itu.
"Reina, jujur saya emang kecewa. Penolakan kamu dengan apa yang saya liat lewat mata kepala saya sendiri itu seolah-olah kamu nggak menghargai saya," tutur Alaric membuat hati Reina mencelos mendengarnya.
Sungguh, Reina tidak ada niatan sedikit pun untuk memperlakukan Alaric seperti itu. Reina menolak tawaran Alaric karena semata mata tidak mau merepotkan lelaki itu. Alaric sudah menjemputnya di sekolah, masa iya lelaki itu juga harus mengantarkannya ke tempat les?
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Reina [SELESAI]
Fiksi Remaja"Lupa lepas cincinnya, Fan." "Kenapa harus dilepas?" "Lo nggak baik-baik aja kalau cincinnya masih dipake. Iya, kan?" "Nggak usah terlalu pikirin gue, gue baik-baik aja." ____ "Aku nggak mau ngerepotin Kak Al dengan antar jemput aku ke sana sini." "...