Semakin dewasa, hidup itu terasa semakin rumit. Oleh sebab itu, banyak orang memilih bersikap bodoamat dan tidak terlalu memusingkan banyak hal. Seperti Reina contohnya. Dia sudah lelah menyuarakan segala penolakannya terhadap Romi. Hingga ia sadar bahwa hal itu hanya membuang-buang waktu, karena sampai kapan pun Romi tidak akan pernah mau mengalah.
Reina menatap layar laptop dihadapannya. Dia sudah mengisi data untuk pendaftaran SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Dimana nilai akademik juga prestasinya selama belajar di sekolah yang menjadi pertimbangan lolos atau tidaknya seseorang ke perguruan tinggi yang dituju.
Dengan memilih jurusan Kedokeran di Universitas Indonesia sebagai kampusnya--sesuai perintah Romi-- Reina mensubmit formulir pendaftaran itu dalam sekali tekan. Selama beberapa saat dia menahan napas. Hingga setelah formulir itu benar-benar terkirim, barulah Reina bisa menghembuskan napasnya lega.
Jujur, jantungnya berpacu dengan cepat. Sempat ada banyak ketidak yakinan dalam diri Reina, tapi dia tetap berusaha untuk kembali meyakinkan dirinya sendiri. Bukannya apa-apa, pilihan Reina ini akan menentukan gambaran dirinya di masa depan. Pilihan ini adalah sebuah pilihan yang mungkin akan mengubah hidup Reina nantinya.
Walau begitu, Reina sudah memikirkan semuanya dengan matang dan dia akan menerima apapun hasilnya itu nanti. Siap tidak siap, dia harus tetap siap. Tujuannya di sini untuk membuat Romi dan Almarhum mamanya bangga di alam sana. Ya, semoga saja jalan yang diberikan Tuhan adalah jalan yang terbaik. Reina percaya itu.
Atensi Reina dari layar laptop teralihkan ketika mendengar ponselnya berdering nyaring. Reina meliriknya sekilas, nama Fano tertera jelas di sana.
Fano is calling...
Tangan Reina bergerak menutup laptop. Setelah itu, ia mengambil ponselnya yang masih menampilkan nama Fano di atas meja belajar.
"Halo Fan?" sapa Reina.
"Gila ya, ada masalah apa?" cerca Fano di seberang sana tanpa basa-basi. Seratus persen Reina yakin Fano sudah mengetahui berita tentang dirinya yang akan keluar dari band.
"Lo masih di Batam?" Bukannya menjawab, mulut Reina malah menanyakan perihal keberadaan Fano.
Kemarin-kemarin Fano memang masih berada di Batam, padahal liburan sekolah telah usai. Makanya semalam Reina hanya berbincang dengan Rayyan dan Alfi. Reina pikir Fano akan ia beritahu lain kali.
"Baru aja landing di Soeta."
Reina mengangguk paham, berarti cowok itu sudah sampai di Jakarta.
"Pertanyaan tadi belum dijawab," ujar Fano. Mengingat Reina sama sekali tak mengeluarkan suaranya.
"Masih di Bandara, Fan?" tanya Reina lagi. Telinganya jelas mendengar banyak keributan di tempat Fano.
"Iya, lagi nunggu yang jemput," ujar Fano, "jadi kapan mau jawabnya?"
Reina menggigit bibir bawahnya. Sejenak ia mengetuk-ngetukan jari telunjuknya di atas meja belajar. Bimbang. Dia harus mengatakan apa kepada Fano nanti. Antara kebenaran atau kebohongan belaka?
"Lo pulang dulu deh, Fan. Pasti capek banget. Nanti gue cerita." Setelah berucap seperti itu terdengar Fano berdecak pelan di seberang sana. Cowok itu pasti kesal dengan Reina. Apalagi dia memang belum bercerita apapun kepada Fano tentang masalah ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Reina [SELESAI]
Teen Fiction"Lupa lepas cincinnya, Fan." "Kenapa harus dilepas?" "Lo nggak baik-baik aja kalau cincinnya masih dipake. Iya, kan?" "Nggak usah terlalu pikirin gue, gue baik-baik aja." ____ "Aku nggak mau ngerepotin Kak Al dengan antar jemput aku ke sana sini." "...