Reina menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Dia bersandar di balik pintu dan perlahan tubuhnya luruh ke bawah. Membuat posisinya menjadi terduduk mengenaskan di lantai.
Reina menekuk kedua lututnya, lalu dia membiarkan kepalanya tenggelam dalam lipatan kedua tangan. Rasa sesak terasa di dada Reina. Dia lelah dengan semua ini. Kenapa takdir selalu mengajaknya bercanda? Tidak cukupkah dia bermain main dengan Reina selama ini? Cukup, Reina menyerah, dia mengaku kalah. Jadi tolong hentikan permainan ini secepatnya.
Tanpa dirasa air mata Reina tumpah ruah. Dia sudah tidak sanggup lagi menahannya. Biar saja Reina menangis, siapa tahu setelahnya perasaannya bisa sedikit membaik.
Reina terisak dalam diam. Ingin sekali dia berteriak sekencang mungkin, meluapkan segala emosi juga kesedihannya. Dia ingin pergi dari rumah, tapi keadaan tidak cukup memungkinkan untuk itu terjadi.
Tangan Reina bergerak mengeluarkan ponsel. Sejenak dia mengusap kasar matanya yang mengabur karena air mata. Ditatap nya layar ponsel yang menampilkan kontak nama Fano. Biasanya jika Reina sedang ada masalah maka Fano lah yang selalu ada untuknya. Gadis itu hendak memanggil nomor Fano, tapi setelah berfikir lebih jauh niatnya dia urungkan.
"Nggak. Gue udah terlalu banyak libatin Fano dalam setiap masalah gue," ujar Reina pada dirinya sendiri.
Cepat cepat dia menggulirkan layar ponselnya ke arah lain. Niatnya untuk menghubungi Zahra juga sama dia urungkan. Beruntung Reina sempat melihat status Zahra yang ternyata tengah makan malam di luar bersama keluarganya. Reina tidak mungkin mengganggu Zahra.
Pandangan mata Reina beralih menatap kontak Tasya. Mungkin Tasya memiliki waktu senggang, tapi Reina tak ingin bercerita kepada Tasya. Beban hidup gadis itu sudah banyak, Reina tidak mau menambahnya jadi semakin banyak.
Reina menghembuskan napas berat. Dia kembali menyimpan kepalanya di atas lipatan kedua tangan. Saat tiba-tiba ingatannya melayang pada sosok Alaric dengan segera Reina pun mencari kontak nama Alaric di ponselnya. Namun tangan Reina menggantung di udara, dia meragu apa Alaric ada waktu untuknya? Gadis itu menatap nomor Alaric sejenak, sebelum dia benar-benar memutuskan untuk menelfon nya.
"Halo?" sapa Alaric di seberang sana setelah mengangkat panggilan telfon dari Reina. Reina diam sejenak, jantungnya berdebar kencang. Haruskah dia berkeluh kesah kepada lelaki itu?
"Kenapa Rein?"
Reina tidak menjawab. Dia sibuk menggigiti bibir bawahnya. Bimbang tentu saja.
"Kenapa? Kalau nggak ada hal penting saya tutup telfonnya. Lagi banyak kerjaan."
Mendengar itu, Reina langsung mengurungkan niatnya untuk bercerita. Tanpa berkata apa pun dia langsung mematikan sambungan telfonnya dengan Alaric. Reina salah, seharusnya dia tidak berharap lebih kepada Alaric. Karena cowok itu sama sekali tidak pernah menganggapnya ada.
"Bener, gue nggak boleh bergantung sama orang. Gue harus bisa menghadapi masalah gue sendiri."
Reina bangkit dari posisiya. Seperti kata Fano, dia tak boleh menyerah karena suatu keadaan. Jika Romi memang benar benar ingin Reina masuk fakultas kedokteran, maka akan Reina usahakan. Sebisa mungkin dia tak akan membuat Romi kecewa lagi.
Reina hendak menyimpan ponselnya di atas nakas ketika panggilan dari Alaric tiba-tiba masuk. Gadis itu mengernyit. Bukannya cowok itu sibuk? Memilih masa bodoh, Reina pun mengabaikan panggilan itu. Dia berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang terasa lengket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Reina [SELESAI]
Teen Fiction"Lupa lepas cincinnya, Fan." "Kenapa harus dilepas?" "Lo nggak baik-baik aja kalau cincinnya masih dipake. Iya, kan?" "Nggak usah terlalu pikirin gue, gue baik-baik aja." ____ "Aku nggak mau ngerepotin Kak Al dengan antar jemput aku ke sana sini." "...