Hari ini Reina tidak sekolah karena akan mengantarkan Romi ke Bandara. Dengan menggunakan kaus pendek dan celana kulot jeans, Reina mendorong koper miliknya keluar dari rumah. Sesuai permintaan Papanya kemarin, mulai hari ini Reina akan pindah rumah.
Reina dapat melihat Romi dan juga Alaric yang tengah berbincang di halaman Rumahnya. Gadis itu berjalan lurus memasukan kopernya sendiri ke dalam bagasi mobil Alaric.
"Ayo Pah!" ajak Reina menghampiri Romi setelah kopernya tersimpan rapi di dalam sana.
"Sudah selesai?" tanya Romi, Reina membalas dengan anggukan kepala.
"Ya sudah ayo kita pergi, Al." Alaric mengangguk. Cowok itu masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku kemudi sedang Reina duduk di belakang bersama Romi. Sepanjang perjalanan gadis itu terus bergelayut manja seolah tidak ingin lepas dari Papanya.
"Papa jaga kesehatan di sana, ya. Sering-sering kabarin Reina."
"Kamu juga jangan bandel-bandel di sini, jangan suka repotin Tante Gina dan keluarganya. Jangan lupa belajar. Kalau ada apa-apa bilang sama Papa," Romi berucap sambil mengelus kepala Reina yang tengah bersandar di bahunya dengan penuh kasih sayang.
Hingga sekitar tiga puluh menit berlalu, mobil yang Alaric kendarai pun tiba di Bandara. Reina menatap kepergian Romi dengan sendu. Ini pertama kalinya dia ditinggal jauh sendirian. Biasanya Romi hanya akan pergi ke luar kota.
"Papa pergi dulu, ya." Romi memeluk Reina penuh kasih sayang lalu mengecup puncak kepala Reina lama.
"Al, titip Reina ya," pesan Romi yang dibalas anggukan kepala Alaric.
"Ingat pesan Papa tadi," kata Romi kepada Reina.
"Dah Pah!" Reina berseru sembari melambaikan tangan Pada Papanya. Tak terasa air matanya lolos membasahi Pipi. Kini dia merasa hampa, seperti ada ketakutan juga kecemasan namun entah pada hal apa.
"Nggak usah cengeng." Reina tersadar dari lamunan ketika suara Alaric memasuki indra pendegarannya. Gadis itu tersenyum kecut. Bisa-bisanya Alaric berkata seperti itu, dia tidak tahu saja rasanya ditinggal bagaimana.
"Masuk mobil!" titahnya kemudian, ketus. Reina merutuk dalam hati. Sepertinya dia harus memperbanyak kesabaran ketika berhadapan dengan Alaric.
Dengan perasaan dongkolnya Reina pun melangkah memasuki mobil Alaric. Setelahnya, mobil itu kembali melaju untuk pulang.
Sepanjang perjalanan tak ada yang membuka suara untuk memulai percakapan. Baik Reina maupun Alaric sama-sama diam. Reina enggan membuka pembicaraan, karena nanti pasti Alaric tak akan merespon ucapannya. Sekalinya di respon pasti jawabannya cuek, memperburuk mood saja.
Suara dering ponsel Reina memecah keheningan. Alaric menoleh ke arah Reina sesaat, namun setelahnya lelaki itu kembali fokus pada jalanan di hadapannya.
"Halo?" sapa Reina pada seseorang di telfon.
"Lo kemana, kok nggak sekolah?"
Reina menepuk keningnya lupa, "Duh, lupa. Hari ini Papa pergi ke Singapura, jadi gue izin buat nganter Papa ke Bandara."
"Ohh... tapi nanti sore latihan, kan? Gue jemput ya?"
Reina menggigit bibir bawahnya kuat. Sekilas dia menoleh ke arah Alaric yang masih fokus dengan kemudinya. Reina bingung bagaimana cara mengabari Fano bahwa dia kini sudah tidak tinggal di rumahnya lagi.
"Gimana, Rein?"
"Emm... kayaknya nggak usah jemput deh, Fan. Gue nanti kesana sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Reina [SELESAI]
Novela Juvenil"Lupa lepas cincinnya, Fan." "Kenapa harus dilepas?" "Lo nggak baik-baik aja kalau cincinnya masih dipake. Iya, kan?" "Nggak usah terlalu pikirin gue, gue baik-baik aja." ____ "Aku nggak mau ngerepotin Kak Al dengan antar jemput aku ke sana sini." "...