Maret. Menjadi bulan yang mendebarkan bagi seluruh siswa kelas dua belas yang mengikuti seleksi nasional masuk Perguruan Tinggi Negeri. Pengumuman kelolosannya akan diumumkan pada bulan ini. Reina berdebar di tempatnya, dia berada di antara dua pilihan. Antara kekecewaan atau justru kebahagiaan yang akan datang menghampirinya.
Dibalik semua usaha dia selalu berdoa agar apapun hasilnya nanti dengan lapang dia bisa menerima. Karena fase menerima dan mengikhlaskan itu adalah fase yang paling sulit. Apapun hasilnya akan terasa baik-baik saja jika kita bisa menerima. Bukan begitu?
Namun sepertinya, lagi dan lagi Reina harus berada dalam fase itu. Fase dimana ekspektasinya tertampar kembali dengan realita. Seolah realita tak pernah bosan mengacaukan segala impiannya. Membuat Reina kecewa dan mengadu pada Tuhan seolah hidup ini terasa tidak adil.
Ya, tidak adil, karena nyatanya banyak orang diluaran sana bisa mendapatkan apa yang sedang kita cita-citakan dengan mudah. Sedang kita? Berusaha mati-matian, tapi tak kunjung menemukan titik akhir sebuah perjuangan.
Romi memijit pelipis kepalanya dengan gusar. Pria paruh baya itu tidak tahu lagi harus melakukan apa ketika putrinya ternyata dinyatakan tidak lolos dalam seleksi nasional masuk PTN.
"Kamu lihat sekarang kan? Ini akibat karena kamu terlalu leha-leha di semester kemarin!"
Reina duduk dengan kepala menunduk di seberang sana. Dia juga sebenarnya kecewa, tapi bukan pada hasil, kecewanya jauh lebih banyak pada sikap Romi. Bukannya mendukung, pria itu malah menyalahkan kelakuannya yang kemarin. Lagipula jika ia gagal di satu jalur bukankah masih banyak jalur lainnya?
"Pah, aku masih bisa ikut SBMPTN juga SIMAK UI," Reina berujar lirih.
"Iya kalau kamu lolos, kalau kamu gagal?!"
"Mas, jangan dipikirkan gagal lolosnya, yang penting sudah berusaha dan mencoba. Jika memang nanti benar-benar tidak berhasil, ya berarti bukan jalannya anak kita di situ," ujar Renata. Tangannya bergerak mengelus bahu Romi, menenangkan.
"Bukan jalannya? Lalu kalau bukan jalannya ini anak mau jadi apa?! Ngeband nggak jelas itu?"
Reina mencelos, bagai ada ribuan belati menancap di relung hatinya. Sesak terasa di dadanya. Dia ingin balik marah, menyuarakan penolakannya, tapi tidak bisa. Reina terlalu lemah untuk itu.
Renata menjauhkan tangannya dari bahu Romi. Dia merasa Romi sudah berlebihan. Obsesinya selalu menggebu-gebu tentang kedokteran. Terkadang dia juga heran alasan apa sebenarnya yang membuat pria itu begitu mengharuskan Reina masuk kedokteran.
"Mas, jangan kayak gini lah. Sikap Mas yang kaya gini secara nggak langsung bisa hilangin motivasi Reina, dia bisa kehilangan semangatnya."
"Kamu diam Renata! Reina anak saya, biarkan saya yang menentukan semuanya." Renata tertegun. Bukankah Reina juga sekarang sudah menjadi bagian dari anaknya? Meskipun anak tiri, tapi Renata tidak menghiraukan itu. Baginya, Keyla, Chelsea, dan Reina itu sama.
"Ya, Reina emang anak kandung kamu. Kamu berhak menentukan semuanya, tapi cita-cita dia, masa depan dia, itu milik Reina sendiri Mas. Mas nggak berhak ngatur-ngatur. Peran orang tua itu mendukung kemauan anaknya. Mendorongnya dari belakang. Jangan paksa dia untuk melakukan hal yang Mas mau. Dan aku yakin Reina punya cita-citanya sendiri," ujar Renata. Dia harus memainkan peran ibunya di sini.
"Cita-cita apa yang kamu maksud itu? Ngisi panggung hiburan di malam hari?!" sinis Romi.
"Nah kan, Mas tuh selalu memandang sesuatu dari sisi negatifnya. Ngisi panggung dengan pertunjukan band itu nggak ada yang salah. Selagi Reina bisa mengekspresikan dirinya sendiri kenapa enggak? Lagipula cuman ngisi panggung hiburan di Kafe, bukan nge-DJ di bar. Apa yang salah coba, Mas?"
"Kamu nggak akan pernah ngerti."
"Siapa yang nggak pernah ngerti? Aku, atau Mas sendiri?" Renata berujar, membuat Romi terdiam.
"Mas harusnya sadar, cita-cita Mas di masa lalu yang nggak tergapai bukan berarti harus digapai sama anak. Mas tuh terlalu obsesi!" Reina tersentak mendengar suara Renata yang naik satu oktaf. Air mata gadis itu sudah tidak bisa dibendung lagi. Semuanya luruh bersamaan dengan teriakan Renata yang menggema.
Tangan Reina terkepal, tanpa banyak kata gadis itu langsung melenggang pergi ke dalam kamar. Meninggalkan Renata dan Romi yang masih cekcok di bawah sana.
Reina terisak, ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Melangkah menuju kasur, dan menelungkup kan tubuhnya di atas sana. Kepalanya tenggelam di bawah bantal, meredam semua perdebatan yang masih terdengar oleh telinganya. Reina benci hidupnya, takdirnya, dan semua orang yang ada di sekitarnya.
"Ma... aku kangen..."
* * *
Seorang gadis dengan gaun putih gadingnya tampak kebingungan di pinggir sebuah danau. Dia celingukan seperti mencari seseorang. Oh, rupanya gadis itu tersesat. Entah bagaimana ceritanya hingga dia bisa tersesat di sini.
Di hadapannya ada danau luas dengan pohon-pohon rindang menghias sekitarnya. Indah, tapi tempat ini sepi. Membuat gadis itu ketakutan dibuatnya.
Kedua tangannya bertaut, dia meremas jari-jemarinya dengan kuat. Gadis itu menggigit bibir bawahnya kuat. Manik matanya ia gulirkan kembali ke sekeliling. Tepat saat matanya menyorot ke arah barat, dia melihat seseorang.
Seorang wanita paruh baya sedang berjalan membelakanginya. Mata gadis itu berseri. Dia lagsung berlari menghampiri wanita itu. Namun, entah kenapa langkah kakinya terasa begitu berat. Gadis itu berlari, tapi tak sanggup menggapai wanita paruh baya di hadapannya. Hingga tiba-tiba tak sengaja kakinya tersandung akar pohon membuat gadis itu jatuh dan merintih kesakitan.
"Awsh!"
Dilihat lutunya yang mulai mengeluarkan darah segar. Gadis itu meringis. Tiba-tiba sebuah tangan terulur di hadapannya. Tangan itu...
Dia mendongakan kepala. Seorang wanita paruh baya tampak tersenyum hangat kepadanya membuat gadis itu terpana. Dan dalam keterpanaannya tiba-tiba wanita itu memeluk tubuhnya erat. Ternyata bukan senyumnya saja yang hangat, pelukannya pun sama.
Dengan sedikit gemetar, gadis itu menggerakan tangannya hendak membalas pelukan wanita itu. Namun tiba-tiba...
Tok tok tok
"Reina?"
Reina mengerjap. Perlahan dia terbangun dari mimpinya. Mata gadis itu terbuka, tatapannya menerawang jauh. Apa itu tadi? Pelukan itu terasa begitu nyata. Apa ia sangat merindukan mamanya sampai-sampai dia bisa bermimpi seperti itu?
Reina menghela napas panjang. Dia lantas menggulirkan matanya menatap jam di dinding, pukul 17.30. Astaga! ternyata selama ini dia tertidur.
Cklek
Pintu kamar Reina tiba-tiba terbuka membuat Renata muncul di sana dengan nampan di kedua tangannya.
"Reina?" panggilnya. Reina membenarkan posisi duduknya dengan punggung bersandar pada sandaran ranjang.
"Makan dulu, kamu belum makan dari siang." Renata menyimpan nampan berisi seporsi nasi dan susu itu di atas nakas. Tangan Renata bergerak menyalakan lampu kamar Reina setelah sebelumnya menutup jendela kamar gadis itu. Reina mengenyit, dia jadi sensitif cahaya saat ini.
Renata melangkah menghampiri Reina. Wanita itu duduk di pinggiran kasur. Lalu tangannya bergerak mengelus puncak kepala Reina. "Nggak usah terlalu dipikirin omongan Papa. Ada mama yang akan selalu dukung kemauan Reina. Reina berhak atas pilihan Reina sendiri. Jangan sedih-sedih ya."
Renata membawa kepala Reina ke dalam pelukannya. Demi apapun Reina ingin menangis saat ini juga. Dia merasa bersalah karena telah bersikap tidak pantas kepada Renata sekarang. Ternyata wanita itu sangat baik, bahkan Renata rela bertengkar dengan Romi demi membela dirinya. Sungguh, dia bingung harus bersikap bagaimana sekarang?
- Bersambung -
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Reina [SELESAI]
Ficção Adolescente"Lupa lepas cincinnya, Fan." "Kenapa harus dilepas?" "Lo nggak baik-baik aja kalau cincinnya masih dipake. Iya, kan?" "Nggak usah terlalu pikirin gue, gue baik-baik aja." ____ "Aku nggak mau ngerepotin Kak Al dengan antar jemput aku ke sana sini." "...