"Biar gak jatuh." Reina mencibir dalam hati, telat mas, udah kali jatuhnya.
Keduanya berjalan beriringan dengan tangan yang saling bertaut. Suasana pegunungan yang sejuk membuat Reina betah dan ingin berlama-lama ada di sini. Jika bisa dia ingin punya rumah di sini saja, hiruk pikuk kota Jakarta rasanya terlalu memuakkan.
"Dingin." Reina mengkode, tapi sepertinya Alaric tidak peka, atau mungkin Alaric hanya berpura-pura tidak peka.
Reina menggerakkan tangannya yang berada dalam genggaman Alaric, membawanya memutar ke belakang, sehingga tangan lelaki itu kini bertengger di pundaknya. Alaric menoleh kepada Reina, dia tersenyum kecil dan lantas mengeratkan rangkulannya di bahu Reina, membuat tubuh Reina semakin terlihat tenggelam dalam jaket kebesaran Alaric.
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit lamanya, mereka singgah di salah satu warung yang menyediakan kopi, mie instan, susu hangat dan lain-lainnya.
Reina mengambil posisi duduk di bangku panjang yang langsung menghadap pemandangan pegunungan. Di hadapannya ada semangkuk mie instan lengkap dengan telur dan cabai rawit.
Sesaat Reina tampak menatap Alaric yang sedang fokus makan di hadapannya, gadis itu memperhatikan setiap gerakan yang Alaric lakukan, mulai dari cara menyendok makanan, memasukannya ke dalam mulut, mengunyah, hingga menelan yang membuat jakunnya naik turun.
Reina meneguk ludah. Tanpa sadar ia sedang ditatap balik oleh Alaric.
"Kenapa?" tanya Alaric, membuat Reina terkesiap dan lantas menggelengkan kepala.
"Enggak." Setelahnya Reina menundukkan kepala untuk menyantap kembali mie miliknya yang kuahnya sudah mulai menyusut.
Alaric menghela napas panjang, lelaki itu menyimpan garpu dan sendok yang digunakannya ke atas mangkuk. Dia melipat kedua tangannya di atas meja dengan pandangan lurus ke depan, menatap Reina secara terang-terangan. Reina yang merasa sedang diperhatikan pun mendongak, sorot matanya menatap Alaric penuh tanda tanya.
"Kenapa?" tanya Reina, setelah sebelumnya menyempatkan diri menyeruput teh hangat miliknya. Alaric menggeleng pelan.
"Enggak," balasnya, menirukan gaya bicara Reina sebelumnya. Merasa Alaric sedang mengejeknya, Reina pun berdecak pelan. Dia memutar kedua bola matanya, malas menatap Alaric.
"Cepet habisin, ditunggu yang lain di Vila."
Kening Reina mengkerut. "Baru juga pergi sebentar?"
"Habisin." Sesaat Reina sempat menggerutu sebal, namun tak urung dia menghabiskan mie instan ala warkop itu dengan lahap.
* * *
"Fran, buruan dong laper gue!"
"Nggak usah banyak ngeluh, beruntung lo gue masakin!"
Mahessa makan hati, lelaki itu kembali diam sembari memperhatikan Zafran yang sedang membakar sosis-sosis di atas panggangan.
"Tas, Tas, fotoin gue di sana." Tasya dan Zahra sibuk berdua, mengambil banyak foto di berbagai spot yang menurut mereka menarik.
Heran, sejak menginjakan kaki di sini, kedua gadis itu terus-terusan memotret dirinya untuk dipamerkan di sosial media. Apa tidak lelah ya?
Reina menghembuskan napas sebal, tadi dia sempat bergabung dengan Tasya dan Zahra, sebelum akhirnya memisahkan diri karena merasa foto yang diambilnya sudah cukup. Lagipula Reina sudah mati gaya. Kini gadis itu sedang duduk di salah satu Gazebo yang berada di halaman belakang Vila. Kedua tangannya masuk ke dalam saku jaket, udara puncak ternyata terasa sangat dingin di malam hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Reina [SELESAI]
Ficção Adolescente"Lupa lepas cincinnya, Fan." "Kenapa harus dilepas?" "Lo nggak baik-baik aja kalau cincinnya masih dipake. Iya, kan?" "Nggak usah terlalu pikirin gue, gue baik-baik aja." ____ "Aku nggak mau ngerepotin Kak Al dengan antar jemput aku ke sana sini." "...