Sesuai perintah Romi, Reina kini sudah berada di halaman belakang rumahnya. Duduk di kursi samping Romi dengan netra mata yang menatap lurus ke depan. Halaman belakang rumahnya terbilang luas. Beberapa tanaman bahkan mulai tumbuh subur sejak Renata datang dan mengurusnya.
"Gimana sekolah kamu?" tanya Romi tiba-tiba.
"Baik," balas Reina seadanya.
Setelah itu keadaan kembali hening. Reina sibuk bergulat dengan pikirannya sendiri, sedang Romi masih setia dengan Ipad dalam genggaman. Selang beberapa saat kemudian, terdengar helaan napas panjang keluar dari mulut Romi. Pria itu menyimpan Ipad-nya di atas meja, mengambil cangkir kopi, lalu menyesap nya sesaat.
"Mau dengar cerita Papa?" tanya Romi setelah meletakan kembali cangkir kopinya. Mendengar itu Reina mengalihkan atensinya kepada Romi. Ia menoleh dengan sebelah alis terangkat ke atas.
"Dulu, semasa SMA Papa sangat ambisius dalam masalah pelajaran. Tidak pernah kenal lelah, siang malam Papa selalu belajar, karena sejak kecil Papa punya cita-cita menjadi seorang dokter."
"Masa remaja Papa selalu diisi dengan belajar dan belajar. Tidak pernah sekalipun Papa terpikirkan untuk bermain menghabiskan waktu bersama teman-teman. Setiap pulang sekolah Papa selalu ikut bimbingan belajar. Semua latihan soal UTBK pun selalu Papa kerjakan untuk mengasah kemampuan. Tapi kamu tahu? Papa sedikit menyesal dengan semua itu," ungkap Romi.
Reina mengerutkan kening. "Papa nyesel selalu belajar?"
Kepala Romi menggeleng, dia menatap Reina dengan sebuah senyuman geli. "Bukan. Tidak ada yang namanya penyesalan dalam belajar. Yang Papa sesalkan adalah, Papa tidak punya kenangan masa remaja yang indah."
Reina diam. Jika dibandingkan dengan Papanya, sejauh ini dia masih mempunyai kenangan indah masa remajanya. Ya, walaupun hanya sedikit, setidaknya dia punya.
"Lalu, Papa gagal masuk kedokteran?" tanya Reina. Mengingat Sang Papa kini malah menggeluti dunia bisnis.
"Papa tidak ikut seleksi kedokteran itu," ujar Romi.
"Loh? Kenapa, Pah?"
"Karena beberapa bulan sebelum seleksi itu diadakan, Opah kamu meminta Papa untuk kuliah mengambil jurusan manajemen bisnis. Opah ingin Papa meneruskan bisnis keluarga."
"Kenapa harus Papa? Bukannya ada Tante Mariska? Maksud Reina, Tante Mariska kan Kakak Papa."
"Mariska punya cita-citanya sendiri. Dia memilih melanjutkan kuliahnya di luar negeri, " balas Romi.
"Tapi pah, bukannya itu kedengeran egois? Maksudnya Papa juga sama, Papa punya cita-cita Papa sendiri."
"Kamu ingat sayang? Papa bukan anak kandung dari Opah kamu. Saat itu Papa benar-benar tidak bisa menolak keinginan Opah. Papa ada dalam situasi yang sulit. Tapi disitu Papa berfikir, jika Papa menolak keinginan Opah, maka Papa mungkin akan menjadi orang paling tidak tahu diri sedunia. Karena apa? karena Papa berhutang banyak kepada Opah kamu. Ya, anggap saja Papa menerimanya sebagai bentuk balasan terhadap Opah kamu yang sudah mau mengurus dan membiayai hidup Papa sejak kecil, " jelas Romi.
Reina menahan napas, sesak terasa di dadanya. Dia sedikit tahu tentang cerita Papanya yang bukanlah anak kandung dari Opah. Berat pasti, tapi dia salut kepada Papanya yang mampu melewati semua itu dan masih bisa bertahan hingga detik ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Reina [SELESAI]
Ficção Adolescente"Lupa lepas cincinnya, Fan." "Kenapa harus dilepas?" "Lo nggak baik-baik aja kalau cincinnya masih dipake. Iya, kan?" "Nggak usah terlalu pikirin gue, gue baik-baik aja." ____ "Aku nggak mau ngerepotin Kak Al dengan antar jemput aku ke sana sini." "...