°0.5

452 88 26
                                    

ೃ࿐

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.ೃ࿐

Pagi-pagi sekali Naya udah bangun, udah rapih dan siap dengan seragamnya.

Tumben banget jam segini dia udah siap, biasanya dia masih melakukan ritual di kamar mandi. Bernyanyi dan menari gak jelas dan berteriak, ah rasanya Bunda mau menyumpil telinganya pakai kapas setiap pagi saat mendengar anak semata wayangnya itu ribut dari lantai dua, sampai terdengar oleh Bunda yang ada di dapur saat pagi di lantai satu.

Kalau bukan karena jadi panitia festival semester sialan itu, Naya gak akan mau bangun subuh-subuh dan bersiap dengan kecepatan kilat.

Terus repot-repot gak sarapan, diomeli Bunda sebentar karena takut maag Naya kambuh.

Memakai sepatu dengan rapih gak seperti biasanya yang diikat simpul mati, kini diikat pita. Katanya biar gak malu-maluin banget.

Ah Naya bahkan gak akan sempat ke rumah Jisung dulu buat menggeplak kepala cowok itu karena kabur dan pulang sendiri waktu Naya lagi ada perkumpulan panitia festival, berakhir Naya selalu pulang sendirian pakai bus.

Naya menoleh ke belakang sebentar sebelum menutup pintu rumahnya, "Bunda, Naya berangkat yaa!"

"Iyaa! Jangan lupa sarapan disana, nanti maag kamu kambuh lagi!" balas Sang Bunda yang ada di meja makan.

Naya berdehem agak keras agar Bunda mendengar, sebelum akhirnya benar-benar menutup pintu rumahnya.

Naya lalu berlari menuju halte bus, hari Jum'at minggu ini gak ada bedanya sama hari Senin. Hobinya lari mulu ke halte, padahal kemarin dia jalan aja santai, sekarang harus cosplay dulu jadi sepatu super.

Tadi Naya sempat melihat, tirai kamar Jisung baru di buka yang artinya Jisung baru aja bangun. Kebo, sama kayak Naya, gak ada bedanya.

Naya terus berlari, bahkan saat Pak Arifin –Tetangga Naya– yang sedang menyiram tanaman di pekarangan rumahnya memanggil Naya karena cewek itu berlari seperti di kejar anjing milik Pak Burhan yang selalu meresahkan warga sekitar di komplek itu, Naya enggak menjawab ataupun menoleh dan terus berlari.

"Kunaon eta budak, enjing keneh geus kitu. Kumat cigahna." Pak Arifin hanya bisa menghela napas dan menggelengkan kepala, lalu kembali menyiram tanaman kesayangan milik istrinya itu.

Naya sampai di halte bus dengan keringat membasahi pelipisnya, dan napas ngos-ngosan. Bahkan sekarang rambutnya acak-acakan diterpa angin waktu lari tadi.

Keberangkatan bus pertama beberapa detik lagi, yang artinya bus itu hampir sampai di halte yang Naya pijaki.

Tepat saat Naya menoleh ke arah kiri, sebuah bus dengan tujuan Naya datang. Tanpa basa-basi Naya langsung menaiki bus itu dan duduk di tempat biasa Naya duduki.

𝐑𝐄𝐓𝐔𝐑𝐍 || Park SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang