Sudah sebulan berlalu semenjak pesta ulang tahun ku di Gurandel dirayakan, hari ini aku harus kembali ke Clarines. Jika awalnya aku hanya membawa 1 kereta barang, maka perjalanan pulang ini aku membawa 3 kereta barang bersamaku. Jika tidak aku cegah, mungkin nenek dan bibi sudah membuatku membawa 5 kereta barang.
Kebanyakan isi dari kereta barang itu adalah perhiasan, jika tidak ada Noah mungkin aku akan sangat pusing dalam perjalanan pulang ini, takut-takut bandit akan menyerang kami dalam perjalanan dan mencuri semua perhiasan itu. Noah menggunakan mantra penggunci pada setiap kereta barang, hanya dirinya yang bisa membuka mantra itu.
Sama seperti perjalan pergi, kami membutuhkan waktu kurang lebih selama 3 jam untuk bisa kembali ke istana. Setiba di istana, aku disambut dengan hangat oleh nenek Verbeda dan kakek Xavier. Sedangkan kaisar Leon dan selir Arabella yang sudah kembali ke istana beberapa minggu yang lalu tidak ikut menyambut kembalinya diriku.
Dari mana aku tahu mereka telah kembali, jawabannya dari surat yang dikirimkan Alnord melalui Noah. Memang Noah beberapa kali akan kembali ke menara sihir untuk melakukan sesuatu yang aku tidak tahu itu apa, saat itulah Alnord memberikan surat tentang apa saja yang terjadi di Clarines.
"selamat datang kembali, cucuku" sambut nenek Verbeda, "nenek sangat rindu denganmu" lanjutnya yang memelukku
"Cana juga rindu nenek, maaf Cana terlalu lama di Gurandel" balasku yang membalas pelukan nenek
Nenek melepaskan pelukannya, "tak apa, asal kamu senang, tak apa kamu disana lebih lama" ujarnya sambil tersenyum
Aku tak membalas ujaran nenek, aku hanya menanggapi dengan senyuman. Lebih tepatnya aku tak tahu harus menanggapi dengan kata-kata apa, aku bahagia disana, hanya saja aku memiliki tanggung jawab yang tidak bisa aku lepas disini.
"istriku, biarkan Canaria istirahat. Ia pasti lelah dengan perjalanannya" ujar kakek Xavier.
"benar, pergilah istiraat Cana. Nanti malam kita makan bersama" ujar nenek Verbeda
"baiklah. Cana pamit dulu, kakek, nenek" pamitku, lalu memberikan hormat.
Setelah mendapat balasan dengan angukan kecil dari nenek dan kakek, aku pergi menuju paviliun bulan. Tempat dimana kamar ku berada, tempat dimaka kenangan diriku bersama ibunda.
*
AUTHOR POV
"apa dia sudah sampai?" tanya seorang pria kepada temannya yang ada di dalam ruangan yang sama dengannya.
"ya, ia sudah sampai 20 menit yang lalu. Apa kamu tak ingin mengunjunginya?" tanya teman pria itu
"ingin, hanya saja ia akan memandangku dengan dingin nantinya" balas pria itu
"minta maaflah kepadanya" saran sang teman
"aku merasa ia tidak akan memaafkan ku semudah itu" jawab pria itu dengan hembusan nafas yang berat. Rasanya permasalahannya yang ini lebih berat untuk ditangani daripada menjadi pemimpin di garis paling depan sebuah perang.
"dicoba dulu, bodoh. Kamu bahkan belum mencoba" ujar sang teman dengan kesal.
"setiap bertemu kamu selalu mengataiku, bodoh ya" balas pria itu mulai kesal
"ya memang kamu bodoh, masalah ini saja tidak bisa kamu selesaikan. Yang ada ayahmu benar-benar akan mencabut gelarmu itu tak lama lagi" balas sang teman. "sudahlah, aku pergi dulu. Masih ada yang harus aku selesaikan" lanjut sang teman meninggalkan si pria seorang diri
Pria itu hanya bisa terduduk diam selepas temannya meninggalkan ruangan, selama diperbatasan ia mulai sadar dengan sikap buruknya selama ini. Sikap yang tidak mencerminkan seorang pemimpin yang bisa dijadikan contoh bagi bawahannya.
AUTHOR POV END
*
Baru kemarin aku sampai di Clarines, dan hari ini aku sudah disibukkan dengan berbagai kegiatan. Seperti pagi biasanya, aku bangun pagi-pagi sekali untuk melakuan latihan fisik dengan Noah. Sarapan bersama dengan seluruh keluarga kekaisaran, menghadiri rapat rutin kekaisaran, dan menghadiri kelas pembelajaran sampai menjelang sore.
Selama 2 bulan ini aku yang tidak memiliki aktifitas yang padat seperti ini, akhirnya terlelap di sore hari setelah pembelajaran. Aku tidak tahu apa yang terjadi selama aku tidur, hanya saja seingatku, aku sebelumnya tertidur di sofa yang ada ruang belajarku, kini aku sudah berada di atas ranjang kamarku.
Pintu kamar yang terbuka membuatku mengalihkan pandangan ke arah pintu, terlihat Cleo yang masuk ke dalam kamarku.
"jam berapa sekarang, Cleo?" tanyaku. Cahaya kamar saat ini redup, jadi aku tidak begitu jelas melihat jam yang ada di atas perapian.
"saat ini sudah jam 8 malam, Yang Mulia" jawab Cleo
"sudah 2 jam berlalu ternyata" ujarku. Waktu makan malam di istana sekitar jam 6, dan saat ini sudah jam 8.
"saya akan mengambilkan makan malam, anda, Yang Mulia" ujar Cleo. dirinya benar-benar pandai dalam memaknai sebuah kalimat, aku salut terhadapnya.
"terima kasih, Cleo" balasku.
"sama-sama, Yang Mulia. Apa anda ingin berendam air hangat sambil menunggu koki menyiapkan makan malam?" tanyanya lagi
"boleh, tolong ya" jawabku yang menyetujui ide dari Cleo
"baik, Yang Mulia. Saya permisi" pamitnya keluar dari kamar.
Setelah Cleo pergi, aku menuju satu-satunya pencahayaan yang ada di dalam kamarku ini. sebuah batu sihir yang bisa menghasilkan cahaya dari mana berelemen api, hanya butuh sedikit perubahan dalam rangkaian sihirnya, cahaya yang keluar dari batu sihir bisa menerangi seluruh kamarku.
Sambil menungguh Cleo datang, aku mengambil salah satu buku tentang pelajaran politik yang tadi aku pelajari. Aku membaca buku yang direkomendasikan guru untuk aku baca jika ada waktu senggang, dan sepertinya saat ini adalah waktu yang tepat.
# Ayu kembali minna.....
Ini bab terakhir yg Ayu update hari ini ya, maafin Ayu yg gk bisa update lebih banyak.... 😭😭
Padahal Ayu pengennya 5 bab lo update utk hari ini, cuma klu dipaksain yg ada berasap kepala Ayu nanti 😅😅😅
Di bab ini Ayu gk kasih visual tokoh dulu ya, soalnya Ayu belum nemu yg pas nih
Ayu juga mau minta maaf sm kalian jika ada yg merasa nama tokoh atau nama apapun yg ada dalam cerita Ayu mirip sm sesuatu, itu benar" Ayu lg buntu bgt buat kasih nama tokohnya 😅😅😅 jd Ayu ambil nama dari apa aja yg kepikiran sm Ayu
Ok, smpi sini dulu bacotan Ayu
Sampai ketemu di next bab minna...Arigathanks
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm The Villain [HIATUS]
FantasyDi sebuah alun-alun ibu kota kekaisaran, sudah terpasang sebuah alat pancung bagi pendosa. Di alat pancung itu telah bersiap seorang gadis muda yang akan dipancung, tak ada air mata ataupun perasaan yang tergambar di wajah gadis yang sudah pucat itu...