Aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu semenjak aku mulai berdoa, ketika membuka mata selesai berdoa aku menyadari dua orang pria tua duduk di sisi kanan dan kiri ku. Mereka hanya memandang lurus ke depan, aku tidak tahu apa yang mereka fikirkan saat ini.
Aku bisa sedikit menyadari pria tua di sebelah kanan ku saat ini adalah seorang pendeta, terlihat dari pakaian yang digunakannya. Sedangkan pria tua disebelah kiri ku, aku tidak tahu dirinya siapa, ia memakai jubah berwarna coklat muda yang menutupi pakaiannya.
"gadis kecil, bisa kita berbicara sebentar?" tanya pria tua disebelah kiri ku
Aku menatapnya, "anda siapa, tuan?" tanyaku. Tak mungkin aku bertemu dengan seseorang tanpa mengenalnya terlebih dahulu
"kamu tak perlu takut dengannya, aku bisa menjamin dirinya tak akan melakukan hal jahat terhadapmu" ujar pendeta yang ada di kanan ku.
"apakah perkataan anda bisa saya pegang, tuan pendeta?" tanyaku. Aku ragu, bagaimana jika kedua orang tua ini ingin menculik dan menjualku sebagai budak.
"yang benar saja! kami tak akan menjual mu sebagai budak. Kami hanya ingin berbicara" jawab pria tua di sisi kiri ku dengan kesal.
Tunggu, 'bagaimana pria tua ini bisa tau isi pikiranku?'. Sepertinya kedua pria tua ini bukan orang sembarangan
"maka dari itu..... kami..... hanya..... ingin..... berbicara....." balas pria tua di sisi kiri ku dengan kesal
'sungguh orang yang tidak sabaran' kesalku dalam hati, "bisakah tuan berhenti membaca pikiranku, aku tak nyaman dengan itu" pintaku.
Pria tua itu menghembuskan nafas berat, "baiklah" jawabnya
"mari kita bicara diruangan ku" ujar pendeta yang ada di kanan ku
Aku berjalan di tengah-tengah antara pendeta dengan pria tua itu, setiap suster atau pendeta lain yang berselisih jalan dengan kami selalu membungkuk hormat. Sepertinya memang kedua orang tua ini memiliki pangkat tinggi, aku rasa tak apa mengikuti mereka.
Kami tiba di depan salah satu ruangan, di depan ruangan itu berdiri dua orang pria yang sepertinya penjaga ruangan. Tapi pakaian mereka sangat berbeda dengan penjaga yang ada di istana. Penjaga itu membukakan pintu mempersilahkan masuk
"tolong minta seseorang untuk membawakan teh dan cemilan yang baru, aku memiliki tamu-tamu istimewa saat ini" ujar pendeta kepada penjaga itu
"baik, pendeta agung" jawab mereka serentak
Tunggu, 'pendeta agung?! Pria tua disebelahku ini pendeta agung? Aku kira hanya pendeta biasa'. Aku terkejut, sangat. Memang aku ingin bertemu dengan pendeta agung menanyakan beberapa hal, hanya saja aku tak menyangka pendeta agung akan langsung menemuiku seperti ini.
"apa yang kamu lamunkan, gadis kecil? Mari masuk" pinta pendeta agung yang mengalihkan keterdiamanku.
Aku segera masuk, pintu ruangan tertutup kembali. Kedua pria tua itu telah duduk dengan santai di sofa yang ada di depan meja kerja di dalam ruangan ini. aku bisa lihat betapa banyak berkas-berkas yang sudah tersusun rapi di dalam lemari dan meja kerja itu.
"duduklah" pinta pendeta agung, akupun duduk di sofa panjang yang ada di sebelah kiri pendeta agung, sebab sofa panjang yang ada di sebelah kanan sudah diisi pria tua yang aku belum mengetahui siapa dirinya.
"saya Derin Anande, salah satu pendeta di kuil ini. Dan ini teman saya, Leomord Duncen, seorang penyihir. Mohon maaf sebelumnya kami belum memperkenalkan diri" ujar pendeta agung. Sungguh seseorang yang rendah hati, walaupun dirinya memiliki jabatan tinggi namun tidak sombong.
Tunggu sebentar..... 'Leomord Duncen?! Nama itu kan....'
"penyihir agung?!" ujarku sambil memandang dengan serius pria tua yang ada di seberang ku itu. Aku melihat wajah sombongnya ketika aku menyadari dirinya orang penting.
"ternyata kau cukup pintar gadis kecil" ujar penyihir agung itu sombong. Sungguh rasanya sangat mengesalkan melihat wajah sombong pria tua ini.
Aku duduk dengan tegap sambil tersenyum kecil kepada penyihir agung, "untungnya tuan penyihir agung yang terhormat tidak menggunakan kekuatannya untuk membaca pikiranku lebih jauh lagi, kalau tidak tuan tidak mungkin menampakkan wajah sombong seperti itu" balasku.
Aku bisa menebak, sepertinya saat ini penyihir agung sedang membaca pikiranku lebih dalam, terlihat dari ekspresi wajahnya yang menyiratkan keterkejutan. Ketika penyihir agung ingin berbicara, suara pintu yang diketuk mengalihkan perhatian kami.
2 orang suster masuk membawa minuman dan cemilan sesuai yang diminta pendeta agung sebelumnya, mereka meletakkannya di atas meja. Setelah mendapat perintah dari pendeta agung untuk pergi, barulah mereka keluar dari ruangan.
"apakah itu semua benar?" tanya penyihir agung, aku yang awalnya ingin mengambil teh yang sudah terhidang seketika terhenti. Aku memandang penyihir agung, terlihat raut wajah duka dari wajah tua nya.
"apakah benar Yang Mulia Permaisuri di racuni? Buka karna penyakit yang ada pada dirinya?" tanya penyihir agung lagi. Sepertinya pria tua ini telah membaca terlalu jauh, aku tidak ingin menjawab, namun tak mungkin.
Aku kembali menarik tanganku, ku genggam kedua tanganku dengan erat untuk menguatkanku, "apa saya terlihat seperti seseorang yang akan berbohong tentang hal ini?!" balasku.
Penyihir agung menyandarkan punggungnya ke punggung sofa sambil menutup kedua matanya dengan tangan, sepertinya penyihir agung sangat terkejut dengan fakta ini, apalagi aku ingat ibunda cukup dekat dengan penyihir agung dan pendeta agung. Mereka telah menganggap ibunda seperti anak mereka sendiri.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah pendeta agung, sepertinya dirinya masih belum mengerti apa yang sedang kami bahas saat ini, terlihat dari dahinya yang ada banyak kerutan.
# jangan lupa tinggalin jejak dengan kasih bintang and comment nya ya.....
Sampai ketemu di bab selanjutnya
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm The Villain [HIATUS]
FantasíaDi sebuah alun-alun ibu kota kekaisaran, sudah terpasang sebuah alat pancung bagi pendosa. Di alat pancung itu telah bersiap seorang gadis muda yang akan dipancung, tak ada air mata ataupun perasaan yang tergambar di wajah gadis yang sudah pucat itu...