Bab 8 : Salam

0 0 0
                                    









"Kita tak pernah tahu apa yamg akan terjadi ke depan, yang jelas utamakan ikhtiar dan restu didalamnya"








"Nov, ada salam dari Kak Boy" kata bu Reni sembari tersenyum.

"Ah, seriusan, Bu?" tanyaku tak percaya.

"Loh iya beneran. Kemarin, si Boy mampir beli pecel lele di tempat ibu. Dia bilang nitip saya bu ke Novi" jelas bu Reni kepadaku.

"Yaudah deh, wa'alaikumussalam." jawabku singkat.

"Jadi, mau gimana Nov?"

"Lah, gimana apanya, Bu?"

"Kalo dia mau serius sama kamu gimana?"

"Yaaa, gimana ya bu, kalo dia yakin dan serius, langsung aja temui Abahku atau gak dm ke instagramku nanti aku bagi nomor murobbiku"

"Oh iya ya, Nov. Nanti ibu sampaikan"

***

Percakapan itu terlontar begitu saja saat aku berada di kantor. Bu Reni dan aku jarang sekali bertemu. Untuk mengobrol saja aku segan dengannya. Beliau bendahara sekolah. Aku dengan urusanku bersama anak-anak. Bu Reni ya dengan urusan keuangan sekolah yang memusingkan. Sudah pasti, jika kami sudah berhadapan, tidak ada hal lain selain gaji.

Tak ada maksud apa-apa. Aku hanya tak menyangka Bu Reni akhirnya memyampaikan obrolan santai denganku tidak selalu tentang gaji. Awalnya, aku terdiam saat Bu Reni mengatakan "gimana".

Untuk pertama kali, aku memberanikan diri mengatakan hal seperti itu. Biasanya selama ini kalau ada yang mencomblangkan, aku selalu menolak dan berkata belum siap.

Entah mengapa, kali ini aku berkata seperti itu. Mungkin karena aku kenal banyak kepribadiannya selama di sekolah. Belum lagi aku mendapat banyak cerita-cerita baik dari guru-guru di sekolah tentang dirinya. Dia baik. Penyayang. Pintar. Pandai mengaji bahkan mengajarkannya kepada anak-anak di sekitar rumahnya. Manusia yang bermanfaat sekali bagi lingkungannya. Dia juga amat dibutuhkan bahkan di cari jiwa dan raganya saat moment pencairan dana BOS.

Ah ...
Itu yg membuatku terpikat. Berpikir bahwa dia lelaki yang baik. Meskipun secara finansial, aku paham betul bagaimana besaran gaji seorang honorer. Aku belum berpikir kesana. Aku pikir rumah tangga tidak selalu menjadikan uang sebagai fokus utama, ada visi lain dimana akhirat sesuatu yang sangat krusial. Lagipula, jika lelaki itu baik agamanya tak ada alasan. Tanpa pikir panjang, makanya aku menawarkan ia melalui Bu Reni untuk berbicara langsung kepada ayahku.

***

Setelah hari itu, aku mencari tahu lebih tentangnya. Jikalau memang Allah takdirkan aku untuknya, setidaknya aku telah merasa puas atas risetku. Tidak serta merta yang orang katakan "membeli kucing dalam karung". Sungguh suatu proses yang salah. Jangan terburu nafsu. Ta'aruf juga ada prosesnya.

Dia yang Tak Pantas Aku RindukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang