BAB 8: Antek-Antek Perjodohan

1 0 0
                                    

Beberapa hari terakhir, kami sering bertemu. Bahkan kami mengobrol bersama. Saat itu, geng guru muda berencana mengadakan kunjungan ke rumah kepala sekolah. Istrinya melahirkan. Kami berniat membawakan bingkisan kecil untuknya.

Kala itu di toserba, geng guru muda termasuk aku berbelanja bersama memilihkan hadiah yang tepat untuk di bawa. Tak tahu juga pasal awalnya seperti apa, tiba-tiba teman-teman guru muda membicarakan tentangnya. Ini wajar sih, karena dia juga akan pergi bersama kami. Yang tidak wajar adalah pembicaraan tentang perjodohan.

Betapa tidak, aku yang saat itu benar-benar tak berpemikiran untuk menikah dalam waktu dekat, di jodohkan begitu saja kepadanya. Aku hanya tersenyum saja. Aku tahu mereka hanya menggodaku. Maklum saja, aku menjadi bungsu di kelompok itu.

Godaan mereka berujung pada penghasutan. Mereka menghasutku dengan membeberkan semua kebaikan tentangnya. Ah ... Dasar mereka.

Mereka benar-benar mendukung penuh jika dia dan aku bersama. Wallahu a'lam ...

Sedikit flashback, selain geng guru muda, kepala sekolah juga turut menggodaku agar bersama dengannya. Pernah sekali kepala sekolah bertanya kepadaku tentang puasa yang aku jalani.

"Eh, Novi puasa ya? Puasa apa? Puasa nabi Daud? Ah ... Sudahlah. Yang di depan mata udah ada kok"

Aku mencoba menjawab dan menjelaskan trntang puasa yang sedang aku jalani, namun kepala sekolah tak memghiraukannya. Malahan, beliau melanjutkan pertanyaannya.

"Novi, kalo mau sama dia bilang aja ke bapak. Nanti bapak samapikan."

Aku hanya tersenyum saja merespon dengan perasaan tak enak keoada beliau.

Itu yang pertama.

Yang kedua, lebih parah lagi. Saat itu, dia baru lekas sembuh dari sakitnya. Dia had kembali ke sekolah dan duduk di teras dengan menyandarkan kepala pada tiang teras. Aku kebetulan mempunyai jadwal masuk kelas. Sebagai basa-basi, aku menegur dirinya. Aku lihat saat itu nampaknya dia belun pulih betul. Kebetulan juga, ada kepala sekolah di seberang tempat ia duduk.

"Lah kak, udah sehat? Seperti masih belum pulih betul nampaknya"

Dia tak meresponku. Dia hanya meatapku sekilas. Benar saja, kepala sekolah tak mau hilang kesempatan. Beliau menggodaku.

"Kakak itu mah pasti sehat kalo liat senyum adik langsung"

Jleb. Aku ta menyangka. Aku menahan malu dan segera menpis.

"Aish ... Bapak mah"

Aku segera berlalu. Rasanya mukaku memerah.

Kepala sekolahku masih sangat muda. Beliau bahkan sebaya dengan dia. Dulu beliau sangat dekat dengannya. Wajar saja jika beliau  berkata seperti itu. Mungkin saat itu beliau merasa iba dengan temn akrabnya yang tak kunjung menikah. Haha ....

Dia yang Tak Pantas Aku RindukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang