BAB 9: Panggil Aku Adik Saja!

4 0 0
                                    

"Roda kehidupan ke depan tak tahu. Banyak perubahan yang akan terjadi. Qodarullah. Menjustifikasi orang seharunya tidak usah dilakukan jika belum ber-tabayyun. Jalan dakwah setiap orang berbeda, sesuai genre-nya masing-masing"

"Mbak, bisa minta nomor WA-nya gak? Atau mbak WA ke nomer ini kalo mau tanya-tanya 0838xxxxxxxx," sebuah pesan baru masuk ke inbox Facebook-ku.

"Lah itu nomer siapa? Ngapain ke WA segala?" tanyaku dengan ketus kepada sang pengirim pesan.

"Itu nomer WA-ku mbak. Maksudnya biar enak pas aku mau nunjukkin gambarnya." jelasnya kepadaku.

"Oke. Tapi inget ya, jangan di salah gunakan!" perintahku kepadanya.

Aku berpikir sejenak setelah membalas pesan itu. Aku sudah bersiap mengirimkan nomor WhatsApp-ku, namun selalu aku hapus kembali. Pada akhirnya, pesan itu tak jadi aku kirimkan. Setelah beberapa menit berpikir, Aku memilih mengirimkan pesan pada nomor WhatsApp-nya terlebih dahulu.

"Assalamu'alaikum. Coba kirim gambarnya nah!" tanpa basa basi aku mengiriminya pesan.

"Tolong ya gan jangan disalahgunakan nomor WhatsAppku!" Aku mengirimkan pesan beruntun kepadanya.

"Ah iya mbak, buat apa juga," balasnya singkat berusaha menepis prasangkaku.

Tak lama kemudian ia mengirimkan sebuah gambar lengkap dengan sebuah lingkaran untuk mempersempit fokus pandangku pada gambar itu. Gambar itu merupakan gambar beberapa busur panah.

***

Beberapa waktu lalu, seseorang mengirimkan permintaan pertemaan pada akun Facebook-ku. Seperti biasa, melakukan penelusuran ke beranda ataupun info orang yang mengirimiku pertemaan menjadi hal yang harus dilakukan sebelum melakukan konfirmasi.

Dia adalah seorang ikhwan. Usia remaja. Banyak sekali postingan dakwah yang ia bagikan pada akunnya itu. Ada foto profil yang terpasang. Foto sesorang dengan jubah putih lengkap dengan sorban di kepalanya. Sejauh ini, aku pikir dia bukan orang yang aneh. Dia lulus seleksi pertemananku. Aku langsung mengkonfirmasi permintaan pertemanan darinya. Haha ....

***

Satu pekan telah berlalu, tidak ada apapun yang terjadi. Keadaan biasa-biasa saja. Kehidupanku selama libur wabah ini benar-benar sepi. Semua kegiatan dialihkan di rumah. Aku mulai bosan. Gawai menjadi hal yang tak boleh luput dari pandangan. Sebagai pengobat rasa sepiku.

Facebook, Instagram, Youtube, dan WhatsApp adalah aplikasi menarik untuk di lihat. Diantara ke empat aplikasi itu, facebook menjadi aplikasi favorit. Aku sering menonton anime kesukaanku di sana. Selain itu, aku juga suka bercanda dengan berbalas komentar pada rekan-rekan thaitea-ku. Ya, benar-benar menjadi penghibur bagiku.

Saat tak ada sesuatu menarik untuk diberikan komentar, aku beralih melihat-lihat story facebook yang di share orang-orang.

Dari beberapa story yang aku lihat, ada satu story yang membuatku penasaran. Story dari teman baruku itu, yang sepekan lalu baru aku konfirmasi. Pada akhirnya aku merespon story itu dengan mengirimkan sebuah pesan pertanyaan kepada sang pemilik story. Story itu berisikan sebuah video seorang ikhwan sedang bermain panah.

"Uwah, keren sekali kak. Ikut komunitas archery ya?" tanyaku penasaran kepadanya.

"Hehe, iya mbak," jawabnya
singkat.

"Kalau boleh kak, saya mau ikut nah komunitas itu, tapi khusus yang akhwat saja. Bosen main sendirian terus."

"Aduh, jangan panggil kakak mbak. Saya baru beres sekolah. Sepertinya kalo untuk yang akhwatnya belum ada mbak, di sini yang main panahan orang-orang se-lorong aja, gak ada orang luar. Tapi, nanti kalo ada aku kasih tau mbak,"

"Oh gituh ya kak. Oke ditunggu. Makasih ya!"

"Tolong mbak, jangan panggil kakak! Emang mbak lahir tahun 2002? Iya mbak nanti tak kabarin."

Aku tak meresponnya. Dia mengirimkan pesan baru kepadaku.

"Nah, mbaknya tahun 1996. Jauh banget,"

Aku tak meresponnya. Aku tak mau terus-terusan melakukan chat dengan dirinya.

Dua hari telah berlalu. Dia membuat story lagi. Masih tentang panahan, namun kali ini dia melakukan promosi. Dia menjual busur panah. Kebetulan sekali, aku sedang mencari busur. Aku ingin menambah koleksi busurku, karena busur lamaku sudah tak layak lagi. Butuh perbaikan agar bisa nyaman digunakan kembali.

Tanpa pikir panjang, aku kembali menanggapi story yang dibuatnya. Yang terpikir saat itu, mumupung ada yang dekat. Untuk apa beli online jauh-jauh.

"Kak, berapaan busurnya? Kebetulan saya sedang mencari,"

"Aduh, Mbak. Panggil adik saja. Saya masih muda. Kalau busur mah tergantung Mbaknya mau yang tipe seperti apa. Beda tipe beda harga,"

"Oh gitu, yang harga seratus sampai dua ratus ribuan yang mana ya?"

"Ada mbak, ini yang saya lingkarin,"

Dia mengirimkan sebuah foto kepadaku sederet busur panah. Kemudian mengirim kembali pesan yang berisi nomor whatsApp miliknya.

***

Singkat cerita, kami mulai melakukan chat di whatsApp. Sebisa mungkin aku meresponnya dengan singkat. Aku sadar betul posisiku. Dia seorang ikhwan dengan tampilan seperti itu mana mungkin mau meladeni chat dari seorang akhwat secara berlebihan. Itu pikirku saat itu. Namun, yang terjadi berbeda. Dia merespon hangat pesan dariku. Sungguh tak terduga.

Aku yang sejak awal berusaha menjaga batasan di antara kami, tak dapat menolak itu. Aku pikir, ini agar aku tak salah pilih busur. Tidak apa sedikit bicara santai dengannya.

"Oke fix, aku pilih busur yang di lingkarin tadi ya. Jangan salah!"

"Baik, Mbak. Sesuai pesanan,"

Aku menjatuhkan pilihan pada busur tipe yang berbeda dari busurku sebelumnya. Busur yang aku pilih harganya sangat terjangkau.

"Jadi ini pembayarannya gimana? Transferkah? Atau COD saat barang selesai?"

"Boleh Mbak bayar dulu gak? DP gitu, biar bisa segera kami kerjakan, nanti saya samperin ke rumah Mbaknya"

"Oke deh. What? Jangan deh. Kita ketemuan aja dimana gitu. Bahaya kalo ke rumah saya. Tolong share lokasi aja dimana lorongmu! Sekalian kan saya mau jalan ngajar lewat daerah sana,"

"Baiklah kalau begitu, ini lokasinya sudah akurat"

"Baik, nanti saya kabari lagi besok atau lusa ya. Tolong stand by handphonenya!"

Chat berakhir.

Dia yang Tak Pantas Aku RindukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang