BAB 6: Piece of KKN

2 0 0
                                    

Tidak peka.
Slow respon.
Masih ngejaim.
Sok-sokan.

Mungkin kata inilah yang mewakili benakku saat ini.

Hari ini, terasa betul bahwa memang nampaknya banyak yang tak suka denganku.
Mungkin sikapku yang keras dan sok membuat teman-teman tak nyaman. Ya wajar, sebagai mahasiswa aku memang senang menyampaikan apa yang aku anggap benar dan menentang hal-hal yang tak wajar menurut versiku. Menentang hal yang bertentangan dengan sepengetahuanku.

KKN adalah sebuah proses panjang dari sebuah pencitraan. Pencitraan? Ya, memang betul pencitraan. Berubah sifat benar-benar drastis, dari sombong abis menjadi sok manis di depan orang ramai. Merubah kebiasaan yang melankolis menjadi rock enroll. Melunakkan hati menahan keegoisan. Meski hati meringis, aku terima kehidupan singkat yang tragis.

Aku juga tak tahu, apa aku terlalu sombong sehingga banyak yang tak suka pada sikapku. Apa karena kata-kataku yang asal nyeplos, niat bercanda tapi garing. Tidak paham dan tidak nyambung. Apa selera humorku terlalu tinggi atau tidak masuk di hati mereka. Entahlah. Semuanya belum terbongkar.

Kepedulian itu belum nampak sampai detik ini.
Malam ini, tepat hari kedua KKN aku harus tidur di bawah kaki mereka.
Seperti tersisihkan.
Ini pilihan bodoh yang harus aku ambil demi kemashlahatan mereka.
Teruntuk hati dan ragaku, bertahanlah.

Ya Rabb ...
Apa aku kuat seterusnya akan seperti ini?
Mengapa perasaan rindu akan kampung halamanku sangat cepat datang?

Jujur, saat akan berangkat KKN, aku tak merasakan apapun. Rasa sedih, senang, ataupun itu. Pokoknya perasaan saat ini datar saja.

Tidur di bawah rerongsokkan kaki-kaki dan barang-barang aneh kalian membuatku sadar bahwa dunia memang kejam.
Belum lagi di tambah kritik tajam menusuk hati dengan ekspresi marah seakan berkuasa. Benar-benar membuatku ingin beranjak segera menuju kota tercinta.

Suatu kritik yang takkan bisa aku tentukan untuk tidak melakukannya lagi.

"Mbak, malem tolong jangan ngigau lagi!"

Bahahah..
Zlepp..
Ku terdiam.
Kemudian langsung aku jawab:
"Waduh, gimana ya lah wong tidur kok, mana tau apa yang terjadi"

Logikanya dimana?
Setiap orang pasti juga mendambakan tidur dengan tenang tanpa rasa gelisah. Hening. Sepi. Tanpa mendengkur dan mengigau. Yah apa boleh buat. Qodarullah. Semua atas kehendak Allah.

***

Malam ini, aku sdh berada di posisi ternyamanku yaitu tidur di bawah kaki mereka. Pukul sudah menunjukkan hampir jam 1 dini hari. Aku masih terjaga. Menceritakan kisah bahagiaku disini selama dua hari.

Dia yang Tak Pantas Aku RindukanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang